Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia
Pendahuluan
Berdasarkan amanat UUD 45 (Pasal 31) setiap rakyat Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak, pemerintah selaku pejabat yang dipilih oleh rakyat dibebankan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan Nasional. Guna menjalankan apa yang menjadi amanat UUD 45, maka pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan melalui lembaga pendidikan baik lembaga yang dikelola oleh pemerintah atau dikelola oleh swasta (yayasan) namun masih tetap berada dalam kordinasi pemerintah.
Secara yuridis, politik pendidikan di Indonesia dituangkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan. Sampai kini telah diterbitkan 3 (tiga) Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950 jo Undang-undang No. 12 Tahun 1954 yang diterbitkan pada masa orde lama, UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 pada masa orde baru, dan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada masa reformasi. Pesantren sebagai cikal bakal lembaga pendidikan yang asli Indonesia baru mendapat pengkuan secara yuridis pada tahun 2003 melalui UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Sementara madrasah akhirnya diakui menjadi sub sistem dari sistem pendidikan nasional setelah secara perlahan dan pasti mengurangi dan memarjinalkan pelajaran ilmu-ilmu agama.
Dalam konteks ke-Indonesia-an rakyat tidak harus bingung untuk mencari pendidikan, di negeri ini lembaga pendidikan sangat banyak dan beragam, bagi yang beragama Islam, mereka bisa memilih lembaga pendidikan seperti, pondok pesantren dan juga madrasah. Dan juga ada sekolah umum. Ketiga lembaga ini sama-sama mempunyai peran untuk memberikan ilmu dan memberdayakan masyarakat. Warga diberikan kebebasan untuk memilih lembaga pendidikan yang ada. Memilih sesuai dengan minat dan keinginannya. Bagi orang yang hendak menguasai pendidikan umum mereka bisa memilih jalur pendidikan umum, bagi mereka yang hendak mendalami dan menguasai pendidikan agama, mereka bisa memilih lembaga pendidikan pesantren, dan bagi yang berkeinginan ingin mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum) bisa mengambil jalur madrasah.
Menurut Nurcholish Madjid Pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous). Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kakuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.
Sedangkan madrasah menurut Maksum tidak diketahui pasti sejak kapan madrasah sebagai istilah – sebutan – untuk satu jenis pendidikan Islam digunakan di Indonesia. Namun demikian, madrasah sebagai satu sistem pendidikan Islam ber-kelas dan mengajarkan sekaligus ilmu-ilmu keagamaan dan non keagamaan sudah tampak sejak awal abad 20. Meskipun sebagian di antara lembaga-lembaga pendidikan itu menggunakan istilah school (sekolah), tetapi dilihat dari sistem pendidikannya yang terpadu, lembaga pendidikan seperti itu biasa dikategorikan dalam bentuk madrasah.
Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada Masa Kolonial
Secara de facto, kolonialisme dimulai sejak tahun 1556 yang ditandai dengan kedatangan orang-orang Belanda di pelabuhan Banten di bawah pimpinan Cornelis de Hooutmen. Sedangkan secara de jure dimulai pada tanggal 31 Desember 1799 yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan atas Indonesia oleh kongsi dagang VOC yang gulung tikar kepada pemerintah Belanda. Kedatangan bangsa kolonial itu membawa pengaruh yang tidak kecil terhadap proses pendidikan dan pengajaran Islam. Hal ini dipengaruhi oleh misi ganda yang dibawa oleh bangsa kolonial, yaitu imperialisme dan kristenisasi. Dalam rangka menjalankan misi kedua, yakni kristenisasi itulah tampaknya pemerintah kolonial Belanda memberlakukan berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada penduduk pribumi yang mayoritas Muslim.
Sejak Belanda menguasai Indonesia secara politik, bangsa kolonial itu berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan beragama penduduk pribumi. Kebijakan Belanda dalam mengatur jalannya pendidikan disesuaikan dengan kepentingan mereka sendiri, terutama untuk kepentingan agama Kristen. Secara jelas, hal itu ditunjukkan oleh Van Den Boss, Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta pada tahun 1813 M. Dalam kebijakannya ia menetapkan sekolah-sekolah Kristen sebagai sekolah pemerintah, dan mendirikan satu sekolah Agama Kristen di setiap daerah Karesidenan. Sementara urusan pendidikan dan keagamaan diatur di bawah satu departemen. Selain itu, pada tahun 1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang mereka sebut Priesterraden.
Sistem pendidikan Belanda yang kala itu jauh lebih maju dan lebih modern, tampaknya juga menjadi salah satu pemicu munculnya kesadaran baru untuk melakukan perubahan-perubahan dalam pendidikan Islam. Para ulama mulai menyadari bahwa sistem pendidikan langgar dan pesantren tradisional sudah tidak begitu sesuai lagi dengan iklim Indonesia saat itu. Oleh karena itu muncul gagasan tentang perlunya melakukan pengembangan dan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Realisasinya, sistem pendidikan madrasah yang berkembang di dunia Islam pada umumnya dan sistem sekolah yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial mulai dimasukkan ke dalam sistem pendidikan pesantren. Pada gilirannya sistem pengajaran halaqah bergerser ke arah sistem klasikal dengan unit-unit kelas dan sarana prasarana sebagaimana dalam kelas-kelas pada sekolah-sekolah.
Ketika akan mengembangkan pendidikan bagi masyarakat bumiputera, diperkirakan oleh beberapa ahli Belanda sendiri bahwa pemerintah Hindia Belanda akan memanfaatkan tradisi pendidikan rakyat yang berkembang, yakni pendidikan Islam. Tetapi, secara teknis usulan itu sulit dipenuhi karena tradisi pendidikan Islam waktu itu dipandang memiliki kebiasaan-kebiasaan yang dianggap jelek, baik dari sudut kelembagaan, kurikulum, maupun metode pengajarannya. Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda memilih bentuk persekolahan sebagaimana yang sudah dikembangkan jauh sebelumnya, khususnya dalam rangka missionaris. Dengan demikian, jika pada masa-masa awal penjajahan, sekolah merupakan pendidikan yang eksklusif bagi kelompok-kelompok terpilih menurut ukuran pemerintah Hindia Belanda, maka mulai awal abad 20 atas perintah Gubernur Jenderal Van Heutsz sistem pendidikan itu mulai diselenggarakan bagi masyarakat yang lebih luas dalam bentuk sekolah-sekolah Desa. Mulai tahap ini, rakyat yang sebelumnya hanya memiliki pilihan untuk belajar di lembaga-lembaga pendidikan tradisional, mulai mendapat kesempatan untuk belajar di sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda. Sebagai konsekwensi didirikannya sekolah di banyak tempat, lembaga-lembaga tradisional termasuk pesantren, surau dan masjid, mendapat saingan yang lebih langsung. Dalam kenyataan di lapangan, Sekolah Desa tidak saja menawarkan biaya yang murah serta mata pelajaran yang lebih praktis, tetapi juga menjanjikan pekerjaan yang cukup bervariasi meskipun masih pada level rendahan.
Pada mulanya, usaha pemerintah Hindia Belanda tersebut mengalami kesulitan besar karena sekolah-sekolah itu ternyata hanya dinikmati oleh lapisan tipis kalangan atas. Di samping itu, ada beberapa keberatan di lingkungan beberapa pemimpin Islam yang tidak setuju diadakannya sekolah bagi wanita. Begitu juga pernyataan dari beberapa ulama Indonesia yang menyatakan bahwa memasuki sekolah-sekolah milik pemerintah Belanda adalah haram atau sekurang-kurangnya menyalahi ajaran Islam, sehingga sangat berpengaruh terhadap cara pandang umat Islam di Indonesia.
Dengan pernyataan tersebut, berdirinya sekolah-sekolah Belanda mendapat sambutan yang dingin. Kondisi ini berbeda dengan surau di Minangkabau yang oleh Belanda ditransformasi menjadi sekolah nagari (desa) model Belanda. Namun dalam kenyataannya, tantangan juga datang dari sistem pendidikan modern Islam. Dalam hal ini, pesantren menerapkan “standar ganda”. Pada satu sisi komunitas pesantren menolak paham asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Namun, pada saat yang sama mereka juga harus, dalam batas-batas tertentu, mengikuti langkah kaum reformis untuk mempertahankan eksistensi pesantren mereka. Caranya, pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan “penyesuaian” yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan kurikulum yang lebih luas dan sistem klasikal.
Secara politik menurut Feisal peranan penjajah Belanda setelah dikembangkannya usaha pendidikan Belanda untuk bumiputera terutama setelah kebijaksanaan yang disebut Ethische Politiek, Belanda tidak hanya berhasil memecah umat Islam, tetapi juga menyingkirkan lembaga pendidikan pesantren yang tidak mau menerima subsidi dari pemerintah Belanda ke daerah pedalaman, sehingga pesantren tertutup dari perkembangan kemajuan pendidikan modern.
Akan tetapi di beberapa daerah pendidikan pesantren tetap dapat bertahan dan mendapat sambutan dari masyarakat. Sebagai contoh adalah Pesantren Mamba’ul Ulum Surakarta dapat dipandang sebagai pelopor pembaruan pendidikan Islam. Pesantren ini antara lain telah memasukkan beberapa unsur Barat ke dalam kurikulum pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren yang didirikan pada 1906 oleh Susuhunan Pakubuwono ini telah memasukkan beberapa mata pelajaran membaca tulisan latin, aljabar, dan berhitung ke dalam kurikulumnya, di samping pelajaran agama, seperti membaca dan menghafal Al-Qur’an, kitab Safinah dan Umm al-Barahim.
Sementara itu pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia dimulai pada awal abad 20. Latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia dan adanya respons pendidikan Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Munculnya gerakan pembaruan di Indonesia pada awal abad 20 dilatarbelakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks. Gerakan-gerakan pembaruan Islam di Indonesia memiliki alasan atau motif yang berbeda-beda. Menurut Karel Steenbrink, paling tidak ada empat hal penting yang mendorong terjadinya perubahan Islam di Indonesia pada awal abad 20: (1) keinginan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis, (2) semangat nasionalisme dalam melawan penjajahan Belanda, (3) usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik, dan (4) dorongan pembaruan pendidikan Islam.
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekahwatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Bagi pemerintah penjajah, “pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya bersifat pedagogis cultural, tetapi juga bersifat psikologis politis”. Pandangan ini di satu pihak menimbulkan kesadaran bahwa pendidikan dianggap begitu vital dalam upaya mempengaruhi budaya masyarakat. Melalui pendidikan ala Belanda dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat sehingga akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Tetapi, di pihak lain, pandangan di atas juga mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah. Walaupun pengorganisasian madrasah menerima pengaruh dari sistem sekolah Belanda, tetapi muatan keagamaan di lembaga itu pada akhirnya akan menambah semangat kritis umat Islam terhadap sistem kebudayaan yang dibawakan oleh kaum penjajah.
Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat ijin dari pemerintah. Tidak setiap orang, meskipun ahli ilmu agama, dapat mengajar di lembaga-lembaga pendidikan. Latar belakang Ordonansi Guru ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penajajah. Pengalaman penjajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat di Cilegon tahun 1888 merupakan pelajaran serius bagi pemerintahan Hindia Belanda untuk menerbitkan Ordonansi Guru itu.
Lahirnya madrasah pada awal abad 20 dapat dikatakan sebagai perkembangan baru di mana pendidikan Islam mulai mengadopsi mata pelajaran- mata pelajaran non-keagamaan. Hal ini dimungkinkan karena gerakan pembaruan muncul dengan semangat yang sangat progresif seperti halnya di Timur Tengah di bawah pengaruh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ini merupakan salah satu alasan bahwa madrasah di Indonesia tidak mencontoh sepenuhnya sekolah-sekolah Belanda. Lembaga madrasah juga dimungkinkan merupakan proses logis dari gerakan pembaruan yang dilancarkan umat Islam sendiri.
Latar belakang kelahiran madrasah sendiri bertumpu pada dua faktor penting: (1) pendidikan Islam tradisional kurang sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai, dan (2) laju perkembangan sekolah-sekolah model Belanda di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawa watak sekularisme sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana.
Penting untuk dicatat bahwa tahap-tahap perintisan pembentukan madrasah itu sudah terlebih dahulu dilakukan oleh sejumlah tokoh dengan membuat sekolah ala Belanda dengan muatan tambahan dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan, khususnya tulis baca Al-Qur’an. Dalam pemikiran tokoh-tokoh ini, perlu ditempuh cara kombinasi antara sistem pendidikan tradisional yang menekankan ilmu-ilmu agama dengan sistem pendidikan modern (Belanda) dengan mata pelajaran-mata pelajaran umum seperti membaca, menulis, berhitung, bahasa, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan kebudayaan, dan ketrampilan administrasi. Metode pengajarannya pun direkayasa sedemikian rupa sehingga lebih efektif sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat. Di antara tokoh ini adalah KH. Ahmad Dahlan yang telah mendirikan sekolah Islam “MULO met de Qur’an” di Yogayakarta. Kemudian disusul dengan sekolah-sekolah Islam lain yang dapat disebut sebagai madrasah menurut istilah teknis dalam pendidikan Islam.
Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada Masa Orde Lama
Pasca kemerdekaan, menurut Mujamil Qomar merupakan momentum bagi seluruh sistem pendidikan untuk berkembang lebih luas, terbuka dan demokratis. Rakyat menyambut era pendidikan baru yang belum dirasakan sebelumnya akibat tekanan-tekanan politik penjajah. Namun keadaan tersebut justru menjadi pukulan balik bagi pesantren meskipun madrasah-madrasah banyak diminati pelajar. I. Djumhur dan Danasuparta mengisahkan bahwa lahirnya proklamasi memberi corak baru pada pendidikan agama. Pesantren-pesantren tidak banyak lagi menjalankan tugasnya, sedangkan madrasah-madrasah berkembang dengan sangat pesat.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa madrasah madrasah terus berkembang, sebab jumlah institusi ini makin bertambah di pesantren. Kehadiran madrasah tidak dimaksudkan menggusur pengajian tradisional, melainkan justru melengkapinya. Madrasah dan pengajian tradisional yang menggunakan metode sorogan dan bandongan ini selalu berjalan berdampingan. Setelah kemerdekaan, banyak pesantren yang menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan, antara lain dengan menyelenggarakan pendidikan formal terutama madrasah, di samping tetap meneruskan sistem wetonan dan sorogan. Senada dengan hal tersebut Samsul Munir Amin mengatakan bahwa pendidikan agama Islam mendapat perhatian lebih serius dari pemerintah setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak pemerintah agar memberikan bantuan kepada madrasah. Departemen Agama dengan segera membentuk bagian khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan agama Islam dan Kristen, mengawasi pengangkatan guru-guru agama, dan mengawasi pendidikan agama. Departemen Agama menurut Badri Yatim juga menganjurkan agar pesantren tradisional dikembangkan menjadi sebuah madrasah, disusun secara klasikal, memakai kurikulum yang tetap, dan memasukkan mata pelajaran umum di samping agama, sehingga murid di madrasah tersebut mendapat pendidikan umum yang dama dengan murid di sekolah umum.
Keseriusan pemerinah tersebut diwujudkan dengan menempatkan agama sebagai fondasi dalam membangun bangsa dan negara. Hal ini dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga dan keempat, bahwa kemerdekaan Indonesia adalah atas berkat rahmat Allah dan Pancasila sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar negara. Kemudian dalam pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayannya itu.
Terkait dengan pendidikan, UUD 1945 Bab XIII pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, dan ayat (2) menetapkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang diatur dengan undang-undang.
Berangkat dari beberapa pasal dalam UUD 1945 di atas dapat diketahui bahwa bangsa Indonesia pada mulanya berketetapan untuk tidak memilih sistem pendidikan yang dualistic sebagaimana strategi kolonial tetapi menjadikan berbagai sistem pendidikan yang sudah berkembang menjadi beberapa sub sistem yang menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional tanpa menganaktirikan suatu sistem pendidikanpun. Di samping itu, bangsa Indonesia juga mengorientasikan seluruh kehidupannya, termasuk di dalamnya pendidikan baik yang mengkonsentrasikan pelajaran umum apalagi agama, untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan sebagai bukti syukur terhadap rahmat yang Allah telah berikan berupa kemerdekaan.
Pada periode ini, pendidikan Islam pada dasarnya masih bertumpu pada sistem pendidikan sebelumnya, yaitu pesantren dan madarasah. Keberadaan pesantren dan madrasah ini bahkan mendapat pengakuan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) sebagai Badan Pekerja MPR pada masa itu. Hal ini dapat dilihat dalam Pokok-pokok Usaha Pendidikan dan Pengajaran yang dirumuskan oleh BPKNIP. Rumusan yang terdiri dari 10 pasal itu pada pasal 5 disebutkan, bahwa: madrasah dan pesantren yang pada hakekatnya adalah salah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdesan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaknya pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa tuntunan dan bantuan materiil dari pemerintah.
Berdasarkan pasal tersebut dapat dipahami, bahwa pesantren dan madrasah bukan hanya mendapat pengakuan, tetapi juga dukungan dalam bentuk pembinaan dan tuntunan. Wewenang untuk melakukan pembinaan terhadap pesantren dan madrasah itu kemudian diserahkan kepada Departemen Agama. Departemen yang dibentuk pada tanggal 3 Januari 1946 tersebut mempunyai tugas antara lain mengelola masalah pendidikan agama di madrasah dan pesantren, dan mengurus pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Selain itu, khususnya dalam kabinet Wilopo, tugas Departemen Agama itu ditambah, yaitu melaksanakan pendidikan keguruan untuk tenaga pengajar pengetahuan umum di sekolah agama. Tugas tersebut kemudian diwujudkan dengan mendirikan beberapa sekolah khusus, yaitu:
Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 tahun untuk menjadi agama di Sekolah Rakyat.
Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA), untuk menjadi guru agama di Sekolah Menengah Pertama. Pendidikan yang ditempuh selama 2 tahun setelah PGA ini terdiri dari 4 bagian / jurusan, yaitu A (Sastra), bagian B (Ilmu Pasti), bagian C (Ilmu Agama), dan bagian D (Hukum Agama).
Perguruan Tingga Agama Islam Negeri (PTAIN) untuk menjadi tenaga pengajar di Sekolah Menengah Atas.
Pendidikan Guru Agama (PGA) untuk menjadi guru umum pada sekolah-sekolah agama tingkat rendah (SR). Sedangkan untuk menjadi tenaga pengajar umum di sekolah-sekolah agama tingkat menengah diadakan permufakatan dengan Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K).
Selain itu, dalam salah satu dokumen disebutkan bahwa tugas bagian pendidikan di lingkungan Departemen Agama meliputi: (1) memberi pelajaran agama di sekolah negeri partikuler, (2) memberi pengetahuan umum di madrasah, dan (3) mengadakan Pendidikan guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tentu saja pada masa ini, penyelenggaraan madrasah mendapat subsidi dan bimbingan dari Departemen Agama.
Dengan tugas-tugas seperti digambarkan di atas, Departemen Agama dapat dikatakan sebagai representasi umat Islam dalam memperjuangkan penyelenggaraan pendidikan Islam secara lebih luas di Indonesia. Dalam kaitannya dengan perkembangan madrasah, Departemen itu menjadi andalan yang secara politis dapat mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian yang terus-menerus di kalangan pengambil kebijakan. Di samping melanjutkan usaha-usaha yang sudah dirintis oleh sejumlah tokoh seperti Akhmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, dan Mahmud Yunus, Departemen Agama secara lebih tajam mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah.
Mengingat semakin besarnya tugas penanganan masalah pendidikan Islam, maka bagian pendidikan pada Departemen Agama dikembangkan menjadi Jawatan Pendidikan Agama pada tahun 1950. Badan ini memiliki peranan yang sangat penting dan strategis di lingkungan Departemen Agama mengingat tugas pengembangan pendidikan merupakan lahan garapan yang sangat luas dan menantang.. Hampir semua perubahan dan pengembangan madrasah / pendidikan agama pada masa pemerintahan orde lama tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan oleh jawatan ini.
Dalam rangka meningkatkan madrasah sesuai dengan saran BPKNIP, Kementerian Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946, dan kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No. 7 Tahun 1952, yang mengatur tentang jenjang pendidikan pada madrasah. Menurut peraturan ini, jenjang pendidikan pada madrasah terdiri dari:
Madrasah Rendah (sekarang disebut Madrasah Ibtidaiyah), yaitu madrasah yang memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya, lama pendidikan 6 tahun.
Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama (sekarang disebut Madrasah Tsanawiyah), ialah madrasah yang menerima murid-murid tamatan Madrasah Rendah atau yang sederajat, serta memberi pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya, lama pendidikan 3 tahun.
Madrasah Lanjutan Atas (sekarang disebut Madrasah Aliyah), ialah madrasah yang menerima murid-murid tamatan Madrasah Lanjutan Pertama atau yang sederajat, serta memberi pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya, lama belajar 3 tahun.
Upaya peningkatan mutu madrasah juga dilakukan dengan meningkatkan status madrasah-madrasah yang dikelola oleh masyarakat, baik pribadi maupun organisasi, dari swasta menjadi negeri. Madrasah-madrasah yang dinegrikan itu mulai tingkat dasar yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), tingkat lanjutan pertama diberi nama Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri (MTsAIN), dan tingkat atas diberi nama Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN). Selain itu, pesantren juga menerima perubahan status madrasahnya menjadi madrasah negeri karena dianggap sangat menguntungkan dari segi keuangan pesantren. Pesantren tidak lagi terlalu banyak menyandarkan diri kepada pemasukan dari para santri atau pun sedekah dari masyarakat untuk menggaji para gurunya.
Selanjutnya, didorong oleh keinginan untuk memodernkan dunia pesantren dan madrasah, sekitar tahun 1958, Departemen Agama mengadakan pembaharuan secara revolusioner dalam bidang pendidikan di madrasah. Hal itu diwujudkan dengan mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB) dengan masa studi 8 tahun. Tujuannya adalah memerpsiapkan kualitas anak didik untuk dapat hihup mandiri dan mencari nafkah, terutama dalam bidang ekonomi, industri, dan transmigrasi. Untuk mencapai tujuan itu maka kurikulumnya disusun dengan mempertimbangkan keselarasan tiga perkembangan anak, yaitu perkembangan otak atau akal (kognitif), perkembangan hati atau perasaan (afektif), dan perkembangan tangan atau kecekatan/ketrampilan (psikomotorik). Sedangkan materi pelajaran yang diberikan di madrasah ini terdiri dari pelajaran agama, pengetahuan umum, dan kerajinan tangan/ketrampilan, dengan perbandingan 25% untuk pelajaran agama dan 75% untuk pengetahuan umum da ketrampilan. Tetapi program ini tidak dapat berjalan lancar, di samping dikarenakan kurangnya sarana prasarana dan ketersediaan tenaga pengajar, juga kurangnya tanggapan dari masyarakat dan pihak-pihak terkait.
Undang-undang tentang sistem pendidikan yang pertama kali dimiliki oleh bangsa Indonesia ternyata memberlakukan madrasah secara diskriminatif. Di dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 tahun 1950 dinyatakan bahwa belajar di madrasah yang telah mendapat pengakuan Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar, padahal ketentuan yang sama tidak diberlakukan untuk sekolah. Walaupun seperti itu, ketentuan tersebut dianggap sebagai pengakuan terhadap eksistensi madrasah dalam sistem pendidikan nasional.
Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang tersebut, Kementerian Agama menggariskan kebijakan bahwa madrasah yang diakui dan memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar haruslah terdaftar pada Kementerian Agama. Sebagai salah satu syarat untuk mendaftarkan diri itu, madrasah itu harus mengajarkan pelajaran agama sebagai pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu secara teratur di samping pelajaran umum.
Perkembangan madrasah tingkat dasar (ibtidaiyah) secara kuantitatif pada 1957 sampai 1960-an tercatat 13.057 dengan jumlah murid sekitar 1.927.777. Jumlah madrasah tingkat pertama (tsanawiyah) mencapai 776 buah dengan jumlah murid sebanyak 87.932. Adapun jumlah madrasah tingkat atas (aliyah) sekitar 16 buah dengan jumlah murid sebanyak 1.881 orang. Dengan demikian, jumlah madrasah secara keseluruhan sudah mencapai 13.849 dengan jumlah murid sebanyak 2.017.590. Namun, keberadaan madrasah belum menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang identik dengan lembaga-lembaga yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Madrasah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan kelas dua.
Dalam rangka memberikan motivasi kepada madrasah untuk meningkatkan kwalitas akademiknya, pemerintah juga memberikan bantuan finansila. Pada tahun 1960-an, menurut temuan van Bruinessen, Departemen Agama memberikan subsidi kepada madrasah lokal sebesar Rp 10,- per murid, tetapi untuk madrasah yang berafiliasi dengan organisasi berskala nasional subsidi dinaikkan menjadi tidak kurang dari Rp 30,- setiap murid. Kebijakan ini mempunyai dampak terhadap pertambahan jumlah madrasah. Pemberian bantuan ini didasarkan kepada Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1960.
Untuk mendapatkan bantuan tersebut, lembaga pendidikan agama itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya, di samping mengajarkan agama Islam, lembaga itu harus mengajarkan pengetahuan umum yang tingkatannya sama dengan pelajaran umum bagi sekolah rendah, mengajarkan Bahasa Indonesia, ilmu pasti, ilmu bumi, sejarah umum, ilmu hayat, dan Bahasa Inggris bagi madrasah tsanawiyah, dan mengajarkan aljabar-grafik, ilmu ukur ruang, ilmu bumi ekonomi, tata negara, sejarah kebudayaan, kesusasteraan Indonesia, dan ekonomi.
Meskipun demikian ternyata perhatian pemerintah terhadap madrasah masih sangat kecil. Hal ini dapat dilihat dari Undang-undang No. 4 tahun 1950 pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah “membentuk manusia susila yang cakap dan warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Dari rumusan ini tidak tercermin adanya perhatian terhadap usaha pembinaan mental spriritual dan keagamaan secara serius melalui proses pendidikan. Itulah sebabnya dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan agama di sekolah bukan mata pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan orang tua siswa. Dalam penjelasannya bahkan dikemukakan bahwa mata pelajaran pendidikan agama bukan merupakan faktor penentu dalam kenaikan kelas anak didik.
Di luar Undang-undang itu, kebijakan pemerintah khususnya yang menyangkut pendidikan agama agaknya tidak statis. Sejumlah ketetapan MPRS/MPR, Peraturan Pemerintah, Keputusan Pemerintah dan Surat Keputusan Menteri dikeluarkan. Beberapa keputusan itu memberi perhatian yang sedikit lebih baik pada pendidikan agama dan lembaga-lembaganya. Pada tanggal 3 Desember 1960 misalnya, keluar Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang “Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, Tahapan Pertama tahun 1961-1969.” Dalam kaitannya dengan pendidikan nasional, ketetapan ini antara lain menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat sampai dengan universitas-universitas negeri, dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid/murid dewasa menyatakan keberatannya.
Ketetapan ini memang tidak mengubah status pendidikan agama sebagai mata pelajaran minor/pilihan, tetapi telah memperluas jangkauannya sampai tingkat universitas. Perubahan seperti ini tentu belum banyak berarti, apalagi dalam pelaksanaannya dihadapkan pada situasi politik NASAKOM yang memberi peran langsung bagi Partai komunis Indonesia dalam pemerintahan. Namun demikian, dalam kaitannya dengan madrasah, ketetapan ini telah memberi perhatian – meskipun tidak terlalu berarti – dengan merekomendasikan agar “madrasah hendaknya berdiri sendiri sebagai badan otonom di bawah pengawasan Departemen Agama dan bukan di bawah pengawasan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.” Dengan rekomendasi ini, madrasah tetap berada di luar sistem pendidikan nasional, tetapi usulannya yang konkrit dalam ketetapan ini sudah merupakan langkah pengakan akan esksistensi madrasah dalam kerangka pendidikan nasional.
Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada Masa Orde Baru
Sejak pemerintahan orde baru yang ditandai dengan ditumpasnya pemberontakan yang dilakukan oleh G-30 S/PKI, pemerintah Indonesia semakin menunjukkan perhatiannya terhadap pendidika Islam, sebab disadari dengan bermentalkan agama yang kuatlah bangsa Indonesia akan terhindar dari paham komunisme. Untuk merealisasikan cita-cita tersebut maka siding umum MPRS tahun 1966 behasil menetapkan TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1996 yang membahas tentang agama, pendidikan, dan kebudayaan. Pasal 1 dalam ketetapan tersebut menjelaskan: “… menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri.”
Pada masa awal-awal pemerintahan orde baru, kebijakan dalam beberapa hal mengenai madrasah bersifat melanjutkan dan memperkuat kebijakan orde lama. Pada tahap ini madrasah belum dilihat sebagai bagian dari sistem pendidikan secara nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Hal ini disebabkan karena kenyataan bahwa sistem pendidikan madrasah lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum terstandar, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan managemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah.
Selain itu menurut pengamatan pemerintahan orde baru bahwa program Madrasah Wajib Belajar berjalan kurang sesuai dengan harapan sehingga Kementerian Agama terus menata kurikulum pendidikan madrasah sejalan dengan tuntutan pendidikan nasional. Sebagai efek dari Ketetapan MPRS No. XXVII/1966, pada tahun 1967 Menteri Agama mengeluarkan kebijakan untuk menegerikan sejumlah madrasah dalam semua tingkatan mulai dari tingkat Ibtidaiyah sampai dengan Aliyah. Melalui usaha ini sebanyak 123 Madrasah Ibtidaiyah telah dinegerikan sehingga menambah jumlah total Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) menjadi 358. Dalam waktu yang bersamaan, juga telah berdiri sekitar 182 Madrasah Tsanawiyah Negeri dan 42 Madrasah Aliha Agama Islam Negeri (MAAIN). Dengan memberikan status negeri ini, tanggung jawab pengelolaan memang menjadi beban pemerintah, tetapi pengaturan dan kontrol atas madrasah-madrasah itu menjadi lebih efektif.
Perkembangan berikutnya menurut Maksum, antara akhir 70-an sampai dengan akhir 80-an, pemerintah orde baru mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional. Usaha menuju ke arah ini agaknya tidak sederhana karena secara konstitusional pendidikan nasional masih diatur oleh UU No. 4 tahun 1950 jo No. 12 Tahun 1954 yang mengabaikan pendidikan madrasah. Apa yang bisa dilakukan pemerintah pada tahap ini adalah memperkuat struktur madrasah –baik dalam jenjang maupun kurikulumnya– sehingga lulusannya memperoleh pengakuan yang sama dengan lulusan dan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di sekolah-sekolah yang dikelola Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk tujuan ini dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri pada tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.
Menurut Daulay, inti dari SKB tersebut adalah upaya untuk meningkatkan mutu madrasah, dalam surat keputusan tersebut dicantumkan:
Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih di atasnya.
Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat (SKB Tiga Menteri Tahun 1975, Bab II, Pasal 2).
Dengan dilaksanakannya SKB Tiga Menteri ini berarti:
Eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam lebih mantap dan kuat.
Pengetahuan umum pada madrasah-madrasah lebih meningkat.
Fasilitas fisik dan peralatan lebih disempurnakan.
Adanya civil effect terhadap ijazah madrasah.
SKB Tiga Menteri menurut Nur Huda dapat dianggap sebagai tonggak sejarah modernisasi madrasah. SKB tersebut dapat disebut sebagai titik awal penyelenggaraan madrasah secara modern. Selain itu, SKB Tiga Menteri dapat dipandang sebagai pengakuan yang nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional yang tuntas. Dengan mengikuti pola penyelenggaraan madrasah seperti yang digariskan dalam SKB tersebut, ijazah madrasah tidak saja diakui oleh Departemen Agama, tetapi juga oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan departemen-departemen lain. Ini dapat dipandang sebagai sisi positif yang menguntungkan madrasah.
Ternyata kebijakan pemerintahan orde baru yang dituangkan dalam SKB Tiga Menteri tersebut banyak dipermasalah oleh sebagian besar umat Islam terutama ulamanya, karena SKB Tiga Menteri itu dianggap membuat siswa madrasah serba tanggung, tidak mengerti dengan baik pengetahuan agama, juga umum, sehingga akan mengakibatkan kelangkaan ulama. Untuk mecari solusinya, maka Departemen Agama pada tahun 1987, di masa Menteri Munawir Sjadzali, mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus. Madrasah ini diharapkan menjadi lembaga mencetak calon ulama yang mengerti agama dengan baik juga pengetahuan umum, utamanya bahasa Arab dan Inggris. Namun sayangnya, MAPK/MAK ini tidak mempunyai payung hukum, karena madrasah yang diakui berdasarkan SKB Tiga Menteri itu adalah 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Bahkan, madrasah ini juga belum jelas posisinya dalam UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989. MAPK/MAK, termasuk di dalam pendidikan keagamaan, baru mendapat tempat dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.
Pada dasarnya, dibukanya MAPK adalah upaya mengembalikan madrasah ke tujuan semula dengan beberapa penyempurnaan. MAPK juga dimaksudkan sebagai penyuplai utama mahasiswa dalam jenjang pendidikan tinggi Islam. Namun, jumlah MAPK yang sangat terbatas, dan tidak seimbang dengan jumlah Perguruan Tinggi Islam yang banyak, tujuan pendirian MAPK pun menjadi kurang maksimal. Kondisi madrasah yang dipandang sebagian masyarakat telah terjadi pergeseran keilmuan, ditanggapi dengan membentuk madrasah diniyah atau melestarikan lembaga pesantren sebagai tempat pendidikan keagamaan.
Memasuki tahun 90-an, kebijakan pemerintahan orde baru mengenai madrasah ditujukan secara penuh untuk membangun satu sistem pendidikan nasional yang utuh. Dengan satu sistem yang utuh dimaksudkan bahwa pendidikan nasional tidak hanya bergantung pada pendidikan jalur sekolah teapi juga memanfaatkan jalur luar sekolah. Dalam rangka mewujudkan tujuan ini, pemerintahan orde baru melakukan langkah konkrit berupa penyusunan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan sekaligus menggantikan UU No. 4 Tahun 1950 jo. No. 12 Tahun 1954. Dalam konteks ini, penegasan definitive tentang madrasah diberikan melalui keputusan-keputusan yang lebih operasional dan dimasukkan dalam kategori pendidikan sekolah tanpa menghilangkan karakter keagamaannya. Melalui upaya ini dapat dikatakan bahwa madrasah berkembang secara terpadu dalam sistem pendidikan nasional.
Perkembangan tersebut, menurut Azra, membawa implikasi yang cukup mendasar bagi keberadaan madrasah. Madrasah yang semula dipandang sebagai institusi pendidikan keagamaan, sekarang ini, ia dapat mengklaim diri menjadi sekolah umum plus. Oleh karena itu, madrasah mendapatkan beban tambahan yang cukup berat, karena di samping harus memberikan kurikulum sekolah umum yang setingkat secara penuh, ia juga harus memberikan materi-materi esensial kesilamannya, yang selama ini telah diajarkan. Beratnya beban yang diemban oleh madrasah tersebut masih ditambah dengan rendahnya kualitas sumber-sumber daya pembelajaran. Meskipun demikian, menurut Ahmad Gunaryo upaya-upaya tersebut tidak serta merta bisa memposisikan pendidikan madrasah secara substansial sejajar dengan Pendidikan Umum (sekolah).
Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada Masa Reformasi
Sebelum masa reformasi bergulir, ketika pemerintah masih menerapkan kurikulum tahun 1994, pendidikan agama ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Dari sudut pendidikan agama, kurikulum tahun 1994 hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran dan karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sampai pada masa orde baru tumbang di tahun 1998, pendidikan di Indonesia masih menggunakan UU Pendidikan tahun 1989 dan kurikulum 1994. Tumbangnya rezim orde baru ini menggulirkan gagasan reformasi, yang salah satu agendanya adalah perubahan dan pembaruan dalam bidang pendidikan, sebagaimana yang menjadi tema kritik para pemerhati pendidikan.
Menurut Ali Anwar, pada masa reformasi ini telah terjadi perubahan dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik menuju desentralistik. Hal ini ditandai dengan UU RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 7 ayat (1) UU RI No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa agama merupakan salah satu urusan yang tidak diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, pendidikan, menurut pasal 11 ayat (2) UU RI No. 22 Tahun 1999 merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Madrasah, yang menurut UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 didefinisikan sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam, dapat diperdebatkan, apakah ia bagian dari agama ataukah pendidikan.
Lebih lanjut Ali Anwar mengatakan, pasal yang diperdebatkan tersebut ternyata dapat ditemukan solusinya bahwa lembaga pendidikan yang dimasukkan sebagai bagian dari agama adalah pesantren dan madrasah diniyah, sementara madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam dimasukkan bagian dari pendidikan. Oleh karena itu, madrasah seharusnya diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah, sehingga berbagai kebijakan yang tidak adil antara lembaga pendidikan madrasah dan sekolah dapat diminimalisir, tidak seperti realita yang terjadi sampai kini di mana madrasah tersebut masih diselenggarakan oleh Departemen Agama. Sementara Departemen Agama dapa mengkonsentrasikan diri pengelolaan lembaga pendidikan keagamaan di atas. Dalam posisi demikian, menurut Husni Rahim, Departemen Agama dapat menghasilkan ulama yang sanggup menghadapi persoalan yang lebih komplek ketimbang persoalan yang kita hadapi dalam kehidupan ini.
Sebenarnya, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, pesantren telah mendapatkan beberapa kemudahan. Melalui SKB Dua Menteri Nomor 1/U/KB/2000 dan Nomor MA/86/2000 para santri di pesantren salafiyah yang berusia 7-15 tahun yang mengikuti pendidikan Diniyah Awaliyah (tingkat dasar) dan Diniyah Wustho (tingkat lanjutan pertama), yang tidak sedang menempuh pendidikan pada SD/MI dan SLTP/MTs atau bukan pula tamatan keduanya, dapat diakui memiliki kemampuan yang setara dan kesempatan yang sama untuk melanjutkan belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bila pesantren tersebut menambah beberapa mata pelajaran umum minimal 3 mata pelajaran, yakni Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA. STTB atau Ijazah yang dikeluarkan oleh pesantren penyelenggara program ini diakui oleh pemerintah setara dengan STTB SD/MI atau SLTP/MTs dan dapat dipergunakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan syarat-syarat yang akan diatur oleh departemen terkait.
Namun tidak semua pesantren salafiyah mengikuti ketentuan SKB Dua Menteri di atas, sebagian mereka memilih tetap mempertahankan tradisinya. Sikap tidak mengikuti ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pihak pesantren itu sendiri, atau bisa juga karena kekhawatiran mereka akan hilangnya identitas salaf yang telah dipertahankan selama ini karena masuknya intervensi pemerintah terhadap kurikulum pesantren.
Dengan demikian, sebenarnya pesantren dan madrasah diniyah sebagai sumber pendidikan dan pecerdasan masyarakat Indonesia, yang sudah berurat berakar sejak sebelum kemerdekaan ternyata baru mendapatkan pengakuan secara yuridis pada era reformasi ini. Pengakuan tersebut sangaat jelas tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini diakui kehadiran pendidikan keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan di samping pendidikan lainnya.
Lebih lanjut, berikut ini posisi pendidikan agama dalam UU Sisdiknas Tahun 2003:
Pasal 1 ayat (1), pendidikan adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pasal 1 ayat (2), pendidikan nasional adalah:
Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Dalam hal ini agama sebagai tujuan pendidikan (agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan) dan sumber nilai dalam proses pendidikan nasional.
Pasal 4 ayat (1):
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hal asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Pasal 12 ayat (1) bagian a:
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Pasal 15
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
Pasal 17 ayat (2):
Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Pasal 18 ayat (3):
Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Pasal 28 ayat (3)
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudlatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pasal 30 tentang pendidikan keagamaan:
Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Dalam hal ini pendidikan agama merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Di samping sekolah/madrasah formal yang didirikan oleh pemerintah seperti MIN, MTsN, maupun MAN, masyarakat dapat juga menyelenggarakan pendidikan agama, baik formal (pesantren, madrasah), nonformal (taman pendidikan Al-Qur’an, majlis taklim) maupun informal (madrasah diniyah).
Pasal 36 ayat (3):
Kurikulum disusun sesuai dengan pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
Peningkatan iman dan takwa
Peningkatan akhlak mulia; dan seterusnya … .
Pasal 37:
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
Pendidikan agama
Pendidikan kewarganegaraan; dan seterusnya … .
Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
Pendidikan agama
Pendidikan kewarganegaraan; dan seterusnya … .
Pasal 55 ayat (1) mengenai pendidikan berbasis masyarakat:
Masyarakat yang berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
Kalau kita cermati dari tiap pasal UU Sisdiknas tahun 2003 tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan agama mempunyai posisi yang sangat penting dalam pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih memfokuskan diri dalam membentuk peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Akan tetapi keadaan di atas, bukanlah menjadi jaminan bahwa realitas pendidikan Islam di Indonesia berjalan dengan baik. Bahkan, pendidikan agama dipandang sebelah oleh masyarakat. Hal ini terlihat ketika minat masyarakat untuk menyekolahkan putra/putrinya ke lembaga-lembaga pendidikan agama semisal madrasah maupun pesantren. Lembaga pendidikan agama menjadi prioritas kedua setelah sekolah umum. Salah satu alasannya adalah kualitas lembaga pendidikan agama lebih rendah dibandingkan sekolah umum. Namun ada juga beberapa lembaga pendidikan agama Islam yang mampu bersaing dengan menampilkan kekhasan masing-masing dalam menarik simpati masyarakat.
Perjalanan kebijakan pendidikan Indonesia belum berakhir, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kehadiran KBK pada mulanya menumbuhkan harapan akan memberi keuntungan bagi peserta didik karena dianggap sebagai penyempurnaan dari metode Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Namun dari sisi mental maupun kapasitas guru tampaknya sangat berat untuk memenuhi tuntutan ini. Pemerintah juga sangat kewalahan secara konseptual, ketika pemerintah bersikeras dengan pemberlakuan Ujian Nasional, sehingga KBK segera diganti dan disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Kesimpulan
Perkembangan pesantren dan madrasah di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kebijakan politik pemerintah yang sedang berkuasa saat itu. Di saat pemerintahan Kolonial Belanda, pesantren kurang mendapat perhatian bahkan cenderung menekan pesantren karena takut akan munculnya militansi kaum muslimin terpelajar. Belanda juga ingin mengubah sistem pendidikan dari pesantren ke sistem persekolahan yang lebih modern. Tujuan pendidikan yang diharapkan pemerintah Kolonial Belanda bukan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat bumiputera akan tetapi untuk mengajarkan baca tulis agar masyarakat dapat melaksanakan kebijakan yang diterapkan pemerintah Kolonial Belanda.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, madrasah mengalami diskriminasi jika dibandingan dengan sekolah-sekolah negeri. Perlakuan tersebut tidak sebatas dalam masalah pengelolaan dan anggaran pembiayaan, tetapi lebih jauh dari itu adalah kebijakan pendidikan Islam yang memberikan dampak kepada ketidakberdayaan madrasah. Kondisi ini merupakan warisan masa lalu dari pemerintah kolonial Belanda yang memperlakukan madrasah secara diskriminatif.
Pengakuan pemerintah terhadap eksistensi madrasah baru terlihat pada masa Orde Baru, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980-an sampai 1990-an. Kebijakan Orde Baru yang tidak memisahkan pendidikan agama dari sistem pendidikan nasional tercermin pada: pertama, madrasah merupakan lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan menteri agama. Otonomisasi madrasah tersebut dilakukan dengan cara formalisasi dan strukturisasi madrasah. Kedua, dikeluarkannya kebijakan berupa Keputusan Bersama Tiga Menteri pada tahun 1974 tentang peningkatan mutu pendidikan di madrasah. Ketiga, lahirnya Undang-Undang No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun, realisasi dari kebijakan-kebijakan tersebut masih jauh dari harapan. Undang-undang tersebut tentunya memiliki nilai positif bagi eksistensi madrasah. Sayangnya, jika tidak diiringi oleh usaha yang nyata, bukan mustahil undang-undang itu menjadi hanya sebatas peraturan yang tidak bersuara dan tidak berdaya, yang akibatnya adalah tidak memunculkan adanya kesetaraan madrasah.
Pada masa reformasi, eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam semakin diakui oleh pemerintah dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang antara lain ditandai dengan pengukuhan sistem pendidikan Islam sebagai pranata pendidikan nasional. Lembaga-lembaga pendidikan Islam kini memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang serta meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan pendidikan nasional. Di dalam Undang-Undang itu setiap kali disebutkan sekolah, misalnya pada jenjang pendidikan dasar yaitu sekolah dasar, selalu dikaitkan dengan madrasah ibtidaiyah, disebutkan sekolah menengah pertama dikaitkan dengan madrasah tsanawiyah, disebutkan sekolah menengah dikaitkan dengan madrasah aliyah, dan lembaga-lembaga pendidikan lain yang sederajat, begitu pula dengan lembaga pendidikan non formal.
Peran dan keberadaan pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan asli Indonesia memang harus tetap dilestarikan dan diperhatikan perkembangannya, karena kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah selain untuk memberdayakan masyarakat juga sebagai wadah untuk menyiapkan kader-kader Ulama yang mampu menguasai dan memahami Al-Qur’an dan Hadis secara baik dan benar dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju saat itu, adalah cerminan dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural. oleh karenanya timbul kebanggaan terhadap madrasah, karena lembaga ini mempunyai citra ”eksklusif” dalam penilaian masyarakat.
Daftar Pustaka
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Amzah, 2010.
Anwar, Ali, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2000.
Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam, Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, Jakarta, Kencana, 2004.
Feisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1995.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta, RajaGrafindo Persada dan LSIK, 1995.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1999.
Huda, Nur, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2007.
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Malang, Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2001.
Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta, Dian Rakyat, 1997.
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.
Qomar, Mujamil, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta, Erlangga, 1996.
SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka, 2006.
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurikulum Modern, Jakarta, LP3ES, 1994.
Sumardi, Mulyanto, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975, Jakarta, Dharma Bhakti, 1978.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta, Rajawali Pers, 2010.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Hidakarya Agung, 1985.
Himpunan Perundangan-Undangan RI tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung, Nuansa Aulia, 2005.