Sabtu, 09 Oktober 2021

 


 

DIAGNOSTIK KESULITAN BELAJAR DAN CARA MENGATASINYA, KEMANDIRIAN BELAJAR  (SELF REGULATED LEARNING) DAN CARA PENGEMBANGANNYA.

 

MK: Pisikologi Pendidikan Islam

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Oleh:

 

Nama              : Saiful Rizal

NIM                :200401012


 

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) MATARAM

TP. 2021

A.           Pendahuluan

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.[1]

Setiap peserta didik pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk
mencapai kinerja akademik yang memuaskan. Namun dari kenyataan sehari hari tampak
jelas bahwa peserta didik memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara peserta didik yang satu dengan peserta didik lainnya. Perbedaan tersebut mempengaruhi aktivitas belajar peserta didik.[2]

Masalah tersebut kecenderungan tidak semua siswa dapat menyelesaikan dengan sendirinya. Sebagian orang mungkin tidak mengetahui cara yang baik untuk memecahkan masalah sendiri. Sebagian yang lain tidak tahu apa sebenarnya masalah yang dihadapi. Ada pula seseorang yang tampak tidak mempunyai masalah, padahal ada masalah yang dihadapinya. Sehingga siswa sulit meraih prestasi belajar di sekolah, padahal telah mengikuti pelajaran dengan sungguhsungguh.

Guru turut berperan membantu memecahkan masalah yang dihadapi siswa, peran guru sangat diperlukan oleh peserta didik, maka diagnosis bertujuan untuk
mengetahui dimana letak kesulitan belajar yang di hadapi oleh siswa serta untuk mencari pemecahannya. Pada kenyataannya, para siswa sering kali tidak mampu mencapai tujuan belajarnya atau tidak memperoleh perubahan tingkah laku sebagaimana yang diharapkan, demikian ini dapat menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan belajar dan merupakan hambatan dalam mencapai hasil belajar.

Peran sekolah dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan melalui proses belajar mengajar di sekolah sangat diharapkan, memang untuk mewujudkannya tidaklah mudah, banyak sekali hambatan-hambatan yang dihadapi di lapangan,  seperti persoalan kurikulum yang tak kunjung mendapatkan titik temu, dorongan belajar dari orang tua yang sangat kritis, belum lagi kompetensi pedagogik guru yang masih dipertanyakan dan berbagai masalah yang di hadapi oleh pendidik berkenaan dengan keadaan siswa itu sendiri.

Kegagalan dalam belajar sebagaimana contoh diatas berarti rugi waktu, tenaga, dan juga biaya. Dan tidak kalah penting adalah dampak kegagalan belajar pada rasa percaya diri. Kerugian tersebut bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan tetapi juga oleh keluarga dan lembaga pendidikan. Oleh karena itu, upaya mencegah atau setidaknya meminimalkan dan juga memecahkan kesulitan belajar melalui diagnosis kesulitan belajar peserta didik merupakan kegiatan yang perlu dlaksanakan.

B.       Pembahasan

1.         Diagnostik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diagnostik  /di·ag·nos·tik/ adalah ilmu untuk menentukan jenis penyakit berdasarkan gejala yang ada. Sedangkan, diagnosis /di·ag·no·sis/  adalah penentuan jenis penyakit dengan cara meneliti (memeriksa) gejala-gejalanya.[3]

Diagnosis adalah penentuan jenis masalah atau kelainan dengan meneliti latar belakang penyebabnya atau dengan cara menganalisis gejala-gejala yang tampak. Kesulitan dapat diartikan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan, sehingga memerlukan usaha lebih giat lagi untuk dapat mengatasi. Belajar didefinisikan sebagai tingkah laku yang diubah melalui latihan atau pengalaman. Dengan kata lain tingkah laku yang
mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian,
fisik maupun psikis, seperti perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah, keterampilan, kecakapan, kebiasaan atau sikap.[4] Kesulitan belajar dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar.

Dengan melihat pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa diagnosis kesulitan belajar adalah semua kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menemukan kesulitan belajar, menetapkan jenis kesulitan, sifat kesulitan belajar, dan juga mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar serta cara menetapkan dan kemungkinan mengatasinya baik secara kuratif (penyembuhan), maupun secara preventif (pencegahan) berdasarkan data dan informasi yang ada.

Dalam buku psikologi belajar, Muhibbin Syah mengatakan dalam proses belajar dikenal adanya bermacam-macam kegiatan yang memiliki corak yang berbeda antara satu sama lainnya, baik dalam aspek materi dan metodenya maupun dalam aspek tujuan dan perubahan tingkah laku yang di harapkan.[5] Keaneka ragaman jenis belajar ini muncul dalam dunia pendidikan sejalan dengan kebutuhan kehidupan manusia yang juga bermacam-macam.

a.         Belajar Abstrak

Belajar abstrak merupakan belajar mengunakan cara-cara berfikir abstrak. bertujuan untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak nyata. Dalam mempelajari hal-hal yang abstrak diperlukan peranan akal yang kuat di samping penguasaan atas prinsip, dan konsep, dan generalisasi. Termasuk dalam jenis ini misalnya belajar matematika, kimia, kosmografi, astronomi, dan juga sebagian materi bidang studi agama seperti tauhid.

b.        Belajar Keterampilan

Belajar keterampilan merupakan belajar dengan menggunakan gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat-urat saraf dan otot-otot/ neuromuscular. bertujuan untuk memperoleh dan menguasi keterampilan jasmani. Dalam belajar jenis ini, latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Termasuk belajar dalam jenis ini misalnya belajar olahraga, musik, menari, melukis, memperbaiki benda-benda elektronik, dan juga sebahgian materi pelajaran agama, seperti ibadah shalat dan haji.

c.         Belajar Sosial

Belajar sosial adalah belajar memahami masalah-masalah dan teknik pemecahannya. bertujuan untuk menguasai pemahaman dan kecakapan dalam memecahkan masalah-masalah sosial seperti masalah keluarga, masalah persahabatan, masalah kelompok, dan masalah-masalah lain yang bersifat kemasyarakatan. Termasuk belajar dalam jenis ini misalnya pelajaran agama dan kewarganegaraan serta pelajaran lainnya yang menunjang pendidikan karakter yang akhir-akhir ini sedang digalakkan.[6]

d.        Belajar Pemecahan Masalah

Belajar pemecahan masalah pada dasarnya merupakan mengguna metodemetode ilmiah atau berfikir secara sistematis, logis, dan teliti. bertujuan untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas. Untuk itu, kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep, prisip-prinsip, dan generalisasi serta tilikan akal amat diperlukan.

e.         Belajar Rasional

Belajar rasional merupakan belajar dengan menggunakan kemampuan berfikir secara logis dan rasional. bertujuan untuk memperoleh aneka ragam kecakapan mengunakan prinsip-prinsip dan konsep-konsep. Jenis belajar ini sangat erat kaitannya dengan belajar pemecahan masalah dengan belajar rasional, siswa diharapkan memiliki kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan dan strategi akal sehat, logis, dan sistematis. Tidak ada perbedaan bidang studi yang digunakan sebagai sarana belajar rasional.

f.         Belajar Kebiasaan

Belajar kebiasaan merupakan proses pembentukan kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain menggunakan perintah, keteladanan dan pengalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuan agar siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual). Selain itu, arti tepat dan positif diatas ialah selaras dengan norma dan tata nilai moral yang berlaku, baik yang bersifat religus maupun tradisional dan kultural. Belajar kebiasaan akan lebih tepat dilaksanakan dalam konteks pendidikan keluarga sebagai mana yang dimaksud oleh Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 10 (4) tahun 1989. Belajar kebiasaan juga dapat diberlakukan untuk menopang pendidikan karakter (seperti karakter amanah, disiplin, dan kerja keras) yang belakangan ini sedang gencar dikampanyekan agar dilaksanakan di sekolah-sekolah.

g.        Belajar Apresiasi

Belajar Apresiasi merupakan mempertimbangkan (judgment) arti penting atau nilai suatu objek. bertujuan agar siswa memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah rasa (affecttive skills) dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu misalnya apresiasi sastra, apresiasi musik, dan sebagainya. Bidang-bidang studi yang dapat menungang tercapainya tujuan belajar
apresiasi antara lain bahasa dan sastra, kerajinan tangan (prakarya),
kesenian, dan menggambar. Selain bidang-bidang studi ini, bidang studi agama juga memungkinkan untuk digunakan sebagai alat pengembangkan apresiasi siswa, misalnya dalam hal seni baca tulis al-Qur’an.

h.        Belajar Pengetahuan

Belajar Pengetahuan adalah belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentu. Studi ini juga dapat diartikan sebagai sebuah program belajar terencana untuk menguasai materi pelajaran dengan melibatkan kegiatan investigasi dan eksperimen. Tujuan belajar pengetahuan ialah agar siswa memperoleh atau menambah informasi dan pemahaman terhadap pengetahuan tertentu yang biasa lebih rumit dan memerlukan kiat khusus dalam mempelajarinya, misalnya dengan mengguna alatalat laboratorium dan penelitian lapangan.

2.         Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar adalah terjemah dari istilah bahasa inggris learning
disability
. Menurut terjemah tersebut sesungguhnya kurang tepat, karena learning
artinya belajar, disability artinya ketidakmampuan. Kesulitan belajar adalah: suatu kondisi yang mana anak didik tidak belajar sebagaimana mestinya karena ada gangguan tertentu. Menurut Syaiful Bahri Djamarah, kesulitan belajar adalah suatu kondisi dimana peserta didik tidak dapat belajar secara wajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan atau gangguan dalam belajar.[7] Jadi, siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar apabila yang bersangkutan menunjukkan gejala (failure) tertentu dalam mencapai tujuan-tujuan belajarnya.

Istilah kesulitan belajar yang penulis maksudkan adalah suatu kondisi di mana anak didik tidak dapat belajar secara maksimal disebabkan adanya hambatan, kendala atau gangguan dalam belajarnya. Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor.[8] Ketika kesulitan belajar terjadi tentu hambatan hadir dalam kegiatan belajar mata pelajaran sehingga berakibat hasil belajarnya rendah.

Kegiatan belajar sangat berpengaruh oleh beberapa faktor yang saling
berhubungan satu sama lainnya. Faktor tersebut dapat digolongkan kedalam dua golongan, yaitu:

a.       Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang timbul dari dalam diri peserta didik itu sendiri, baik fisik maupun mental. Seperti kesehatan, rasa aman, kemampuan, minat dan lain sebagainya. Aspek-aspek tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap hasil belajar seseorang.[9]  Faktor internal meliputi:

1)        Faktor Jasmaniah meliputi, faktor kesehatan dan cacat tubuh.

2)        Faktor Psikologis:

a)        Intelegensi
Intelegensi berasal dari kata intelligere berarti mengorganisasikan,
menghubungkan, atau menyatukan satu dengan yang lain.[10] Intelegensi adalah
salah satu factor penting yang ikut menentukan berhasil tidaknya pesrta didik.[11]

b)        Perhatian
Seorang guru harus menyajikan materi pemblajaran yang menarik
pehatian peserta didik. Jika pembelajarannya kurang menarik, maka timbullah
rasa bosan, malas, dan akhirnya prestasi belajar peserta didik menurun.

c)        Minat

Minat diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan bahwa eserta didik lebih menyukai sesuatu kemudian dimanifestasikan mlalui partisipasi dalam suatu aktivitas.[12]

d)       Motivasi
Motivasi adalah keinginan atau dorongan untuk belajar.[13] Motivasi dapat menentukan baik tidaknya dalam mencapai proses belajarnya.Proses pembelajaran dapat berhasil jika taraf pertumbuhan pribadi telah memungkinkan potensi-potensi jasmani atau rohaninya matang.[14]

b.      Faktor Eksternal.

Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar diri seseorang yang berasal dari lingkungan mereka. Lingkungan meliputi kondisi-kondisi dunia dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku dan perkembangan.[15] Lingkungan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap belajar peserta didik di sekolah. Faktor eksternal dibagi 3 yaitu faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat.

1)        Faktor keluarga

Keluarga merupakan pusat pendidikan yang utama dan pertama. Karena dilingkungan keluargalah anak pertama-tama memperoleh kesempatan untuk belajar dan menghayati pertemuan-pertemuan dengan sesame manusia. Hal yang berkaitan dengan factor ini adalah cara orang tua mendidik, hubungan antara anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi dan latar belakang kebudayaan.

2)        Faktor sekolah

Lingkungan sekolah adalah lingkungsn kedua setelah lungkungan keluarga. Dalam lingkungan sekolah terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi balajar peserta didik diantaranya, pemilihan metode mengajar yang tepat, kurikulum, hubungan yang harmonis antara guru dan peserta didik, alat pendidikan, kondisi gedung dan lain sebagainya yang ikut mempengaruhi proses belajar peserta didik.[16]

3)        Faktor Masyarakat

Jika keluarga adalah komunitas masyarakat terkecil, maka masyarakat adalah komunitas masyarakat dalam kehidupan sosial yang terbesar. Lingkunga masyarakat member pengaruh terhadap siswa karena keberadaannya dalam lingkungan ini. Faktor-faktornya antara lain, aktivitas dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat.[17]

3.         Cara Mengatasi Kesulitan Belajar

a.         Melakukan Identifikasi Kesulitan Belajar

Sebelum menetapkan alternatif pemecahan masalah kesulitan belajar peserta didik, guru sangat dianjurkan untuk terlebu dahulu melakukan identifikasi (upaya mengenali dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang melanda peserta didik tersebut. Beberapa gejala sebagai indikator adanya kesulitan belajar pada peserta didik:

1)        Menunjukkan prestasi yang rendah dibawah rata-rata yang dicapai oleh kelompok kelas

2)        Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan. Ia berusaha dengan keras tetapi nilainya selalu rendah.

3)        Lambat dalam melakukan tugas-tugas belajar. Ia selalu tertinggal dengan kawankawannya dalam segala hal, misalnya dalam mengerjakan soal-soal atau dalam menyelesaikan tugas-tugas

4)        Menunjukkan sikap yang kurang wajar seperti acuh tak acuh, berpura-pura dusta dan lain-lain.

5)        Menunjukkan tingkah laku berlainan. Misalnya, mudah tersinggung, murung, pemarah, bingung, cemberut, kurang gembira, dan selalu sedih.[18]

b.      Cara Mengatasi Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar siswa harus dapat diketahui dan dapat diatasi sedini
mungkin, sehingga tujuan instruksional dapat tercapai dengan baik. Maka perlu
dilakukan diagnosis dari pelaksanaan diagnosis ini membantu siswa untuk memperoleh hasil belajar yang optimal. Diagnosis kesulitan belajar perlu dilakukan karena berbagai hal diantaranya:

1)        Setiap siswa hendaknya mendapat kesempatan dan pelayanan untuk berkembang secara maksimal.

2)        Adanya perbedaan kemampuan, kecerdasan, bakat, minat, dan latar belakang lingkungan masing-masing siswa.

3)        Sistem  pengajaran di sekolah seharusnya memberi kesempatan pada siswa untuk maju sesuai dengan kemampuannya.

4)        Untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh siswa, hendaknya guru lebih intensif dalam menangani siswa dengan menambah pengetahuan, sikap yang terbuka dan mengasah keterampilan dalam mengindentifikasi kesulitan belajar siswa.

Untuk melaksanakan kegiatan diagnosis kesulitan belajar harus ditempuh beberapa tahapan kegiatan. Tahapan tersebut meliputi:

1)        Mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar.

2)        Melokalisasikan kesulitan belajar.

3)        Menentukan faktor penyebab kesulitan belajar.

4)        Memperkirakan alternatif bantuan.

5)        Menetapkan kemungkinan cara mengatasinya.

6)        Tindak lanjut.[19]

Diagnosis kesulitan belajar dilakukan dengan teknik tes dan nontes.
Teknik yang dapat digunakan guru untuk mendiagnosis kesulitan belajar antara
lain: tes prasyarat (prasyarat pengetahuan, prasyarat keterampilan), tes diagnostik, wawancara dan pengamatan.

1)        Tes prasyarat adalah tes yang digunakan untuk mengetahui apakah prasyarat yang diperlukan untuk mencapai penguasaan kompetensi tertentu terpenuhi atau belum. Prasyarat ini meliputi prasyarat pengetahuan dan prasyarat keterampilan.

2)        Tes diagnostik digunakan untuk mengetahui kesulitan peserta didik dalam menguasai kompetensi tertentu.

3)        Wawancara dilakukan dengan mengadakan interaksi lisan dengan peserta didik untuk menggali lebih dalam mengenai kesulitan belajar yang dijumpai peserta didik.

4)        Pengamatan dilakukan dengan jalan melihat secara cermat perilaku belajar siswa. dari pengamatan tersebut diharapkan dapat diketahui jenis maupun penyebab kesulitan belajar siswa.

Tes diagnostik untuk mengetahui kesulitan belajar yang dialami oleh siswa dapat dilakukan secara kelompok maupun individual. Sasaran utama tes diagnostik belajar adalah untuk menemukan kekeliruan-kekeliruan atau kesalahan konsep dan kesalahan proses yang terjadi dalam diri siswa ketika mempelajari suatu topik pelajaran tertentu. Identifikasi kesulitan siswa melalui tes diagnostik berupaya memperoleh informasi tentang profil siswa dalam materi pokok, pengetahuan dasar yang telah dimiliki siswa, pencapaian indikator, kesalahan yang biasa dilakukan siswa, dan kemampuan dalam menyelesaikan soal yang menuntut pemahaman kalimat.

Sedangkan teknik diagnostik nontes (seperti wawancara, angket, dan pengamatan) dilakukan untuk mengidentifikasi kesulitan siswa yang tidak dapat diidentifikasi melalui teknik tes. Informasi yang dapat diperoleh dari teknik nontes misalnya, untuk mengetahui kebiasaan belajar siswa, kelemahan fisik, kelemahan emosional, keadaan keluarga, cara guru mengajar, dan sebagainya.

4.         Kemandirian Belajar (Self- Regulated Learning) dan Cara Pengembangannya

Self- Regulated Learning atau sering disingkat SRL merupakan istilah dalam budaya barat yang dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana pelajar melakukan strategi dengan meregulasi kognisi, metakognisi, dan motivasi. Dengan kata lain, dibutuhkan kemandirian dan kesadaran akan diri yang kuat pada siswa, dalam berbagai aspek.[20] Bagi siswa yang hidup dalam budaya individualis, kesadaran akan diri sendiri tentunya akan mudah dipahami. Dalam budaya tersebut, orang terbiasa untuk menyatakan siapa dirinya beserta harapan, keinginan, dan keberatannya terhadap orang lain dan lingkungannya.

Dengan demikian, dalam berpikir dan berperilaku tentunya sudah didasarkan pada kesadaran penuh akan siapa dirinya. Pemahaman tentang diri seringkali banyak dicampurkan dengan status dan relasinya dengan orang-orang lain di sekitarnya. Ketidakjelasan dalam memahami tentang diri pada siswa dalam budaya kolektif ini tentunya berdampak pada tidak mudahnya siswa melakukan regulasi terhadap kognisi, metakognisi, dan motivasinya sendiri. Dengan kata lain, ketidaktahuan tentang konteks siswa akan berdampak pada SRL siswa. Berdasarkan hal tersebut, maka memahami konteks di mana siswa berada merupakan hal penting yang harus dilakukan agar pendidikan dapat berhasil mencapai tujuannya. [21]

Dalam SRL, pembelajar memantau sendiri tujuan belajar dan motivasi mereka, mengelola sumber-sumber daya yang ada, dan menjadi pengambil keputusan dalam seluruh proses belajar. SRL sangat menekankan pada otonomi dan tanggung jawab pembelajar terhadap aktivitas belajarnya sendiri. Dalam SRL, pelajar bertanggung jawab terhadap pendidikan dan proses belajarnya sendiri, yang meliputi kesadaran dan evaluasi terhadap proses berpikir, penggunaan strategi yang selektif dan tepat, serta motivasi diri secara terus-menerus.

Istilah-istilah yang dikaji dalam Self- Regulated Learning

1.    Intelegensi

Istilah intelegensi ini sudah menjadi bahasa umum bagi masyarakat, hanya saja sebagian masyarakat menamakannya kecerdasan, kecerdikan, kepandaian, ketrampilan dan istilah lainnya yang pada prinsipnya bermakna sama. Istilah intelegensi dapat diartikan dengan dua cara, yaitu:

a.       Arti luas: kemampuan untuk mencapai prestasi yang di dalamnya berpikir memegang peranan. Prestasi itu dapat diberikan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pergaulan, sosial, tekhnis, perdagangan, pengaturan rumah tangga dan belajar di sekolah.

b.      Arti sempit: kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah yang di dalamnya berpikir memegang peranan pokok. Intelegensi dalam arti ini, kerap disebut “kemampuan intelektual” atau ”kemampuan akademik”.[22]

2.    Kognisi

Kognisi adalah istilah yang merujuk pada proses mental dalam menyerap ilmu pengetahuan dan informasi serta pemahaman terhadap ilmu tersebut. Kognisi melibatkan proses berpikir, mengenal, mengingat, menghakimi, dan menyelesaikan masalah. Proses-proses dalam kognisi di atas merupakan fungsi otak yang berada dalam level tinggi. Proses di atas juga mencakup elemen penting lain seperti bahasa, imajinasi, persepsi, dan perancangan suatu rencana dalam kehidupan sehari-hari. Kognisi pun berperan penting dalam eksistensi manusia dalam kehidupan. Misalnya, saja dalam mengingat suatu informasi, memahami pengalaman yang dialami, serta dalam pembuatan keputusan.Kognisi dipelajari dalam cabang psikologi yang disebut psikologi kognitif. Psikologi kognitif memiliki fokus pada investigasi cara manusia berpikir dan proses yang terlibat dalam kognisi.[23] Dengan demikian saat aktifitas berpikir terjadi otak akan menggunakan berbagai fungsi seperti persepsi, perhatian, pengkodean ingatan (memory coding), daya ingat (retention), ingatan (recall), pengambilan keputusan, pemecahan masalah (problem solving), penalaran/pemikiran (reasoning), perencanaan (planning), dan perlakuan/tindakan (executing actions).[24] Strategi kognisi meliputi usaha mengingat kembali dan melatih materi terus-menerus, elaborasi, dan strategi mengorganisir materi. Para ahli psikologi kognitif dan sosial mengatakan bahwa SRL merupakan suatu proses dan spirit yang dapat diubah melalui pelatihan. Sebagai suatu proses, SRL meliputi pembuatan pencapaian tujuan, perencanaan sesuai tujuan yang telah ditetapkan, penggunaan strategi, pemantauan terhadap pelaksanaan strategi, serta evaluasi diri terhadap seluruh proses yang dijalani. Sebagai suatu spirit, SRL meliputi efikasi diri, harapan terhadap hasil, penjelasan tentang keberhasilan atau kegagalan penyelesaian suatu tugas, kepuasan diri, nilai suatu tugas bagi individu, serta minat terhadap tugas.

3.    Metakognisi

Istilah metakognisi (metacognition) pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell pada tahun 1976. Metakognisi terdiri dari imbuhan “meta” dan “kognisi”. Meta merupakan awalan untuk kognisi yang artinya “sesudah” kognisi. John Flavell, mendefinisikan metakognisi sebagai kesadaran peserta didik, pertimbangan, pengontrolan terhadap proses serta strategi kognisi milik dirinya.[25] Menurut Husamah dan Yanur metakognisi adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang diketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Seseorang perlu menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri, sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini, seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, sebab disetiap langkah yang ia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan : Apa yang saya kerjakan?, Mengapa saya mengerjakan ini?, Hal apa yang membantu saya untuk menyelesaikan masalah ini?[26] Strategi metakognisi meliputi merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi. Strategi motivasional meliputi menilai belajar sebagai kebutuhan diri atau sisi intrinsik, melakukan penghargaan terhadap diri sendiri, dan tetap bertahan ketika menghadapi kesulitan. Regulasi diri merupakan proses di mana siswa mengaktifkan dan memelihara kognisi, perilaku, dan mempengaruhi pencapaian tujuan secara sistematis.[27]

Perbedaan Intelegensi, Kognisi dan metakognisi

a.       Intelegensi atau kecerdasan intelektual adalah salah satu kemampuan mental, pikiran atau intelektual dan merupakan bagian dari proses –proes kognitif pada tingkatan yang lebih tinggi. merupakan salah satu konsep yang dipelajari dalam psikologi . Pada hakekatnya semua orang sudah merasa memahami makna intelegensi. Intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah , berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Ada anak yang mempunyai intelegensi tinggi, sedang dan rendah. Perkembangan paling mencengangkan dalam bidang psikologi kognitif bukanlah teori tertentu atau penemuan eksprimental, namun sebuah tren umum

b.      Kognisi adalah kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan termasuk kesadaran , perasaan dan sebagainya atau usaha menggali sesuatu melalui pengalaman sendiri. Proses pengenalan , dan penafsiran lingkungan oleh seseorang hasil pemerolehan pengetahuan.

c.       Metakognisi merupakan pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang kognisinya sendiri, kesadaran tentang apapun yang berhubungan dengan diri mereka sendiri .seseorang memilki kesadaran metakognitif biasanya dapat memulai pemikirannya dengan merancang, memantau dan menilai apa yang dipelajari,jika tidak terpenuhi maka dapat berdampak pada pemikiran yang kurang sistematis atau kurang runtut pada mahasiswa. serta mempunyai tiga macam fungsi esensial yaiu merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi proses kognisi agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

4.    Pengaruh budaya dalam pengmbangan keterampilan metakognisi

Apakah sebuah budaya dapat mempengaruhi metakognisi seseoang? Dimana metakognisi adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang diketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Seseorang perlu menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri, sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Tentu budaya dapat mempengaruhi metakognisi seseorang karna yang mempengaruhi diri seseorang itu ada dua paktor yaitu faktor internal dari diri orang tersebut dan faktor eksternal yaitu dari luar orang tersebut termasuk budaya masarakant dan lainnya.[28]

 

C.      Daftar Rujukan

 

Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: CV Andi Offset, 2010.

Dalyono. Psikologi Pendidikan. Cet. I . Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.

Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2010.

Djaali,Psikologi Pendidikan Cet. II. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

https://www.sehatq.com/artikel/mengenal-kognisi-dan-tips-memelihara-fungsi-kognitif-otak (Akses 13 April 2021)

KBBI Online https://kbbi.kemdikbud.go.id

Husamah dan Yanur Setyaningrum, Desain Pembelajaran Berbasis Pencapaian Kompetensi. Bandung: Prestasi Pustaka, 2011.

Mahfudh Shalahuddin, Pengantar Psikologi Pendidikan. Surabaya: Bina Ilmu, 1990.

M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997

M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidika. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.

Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Robbins, Stephen P, Perilaku Organisasi Buku I. Jakarta: Salemba Empat, 2007.

Sardiman, A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar Cet. III. Jakarta: Rajawali, 1990.

Sattu Alang, Kesehatan Mental dan Terapi Islam Cet. IV. Makassar: CV Berkah Utami, 2011.

Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.

Titk Kristyani, Self-Regulated Learning Konsep, Implikasi, Dan Tantangannya Bagi Siswa Di Indonesia. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press, 2016.

Thomas Gordon, Teacher Effectiveness Training, terj. Mudjito, Guru yang Efektif: Cara Mengatasi Kesulitan dalam Kelas. Jakarta: Rajawali Press, 1990.

Warkitri, dkk, Penilaian Pencapaian Hasil Belajar. Jakarta: Universitas Terbuka,1998.

W.S.Winkel, Psikologi Pengajaran. Yogyakarta : Media Abadi, 2004.



[1]  Robbins, Stephen P, Perilaku Organisasi Buku I, (Jakarta: Salemba Empat, 2007), h. 69-
79

[2]  Dalyono. Psikologi Pendidikan. Cet. I  (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), h. 229

[4]  M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h.
84

[5]  Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.125-126

[6]  Muhibbin Syah, Psikologi Belajar,…, h.125-126.

[7] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h. 199

[8] Ibid, h.13

[9]    Mahfudh Shalahuddin, Pengantar Psikologi Pendidikan (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), h. 51

[10]  Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2010), h. 210

[11]  Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h.122

[12]  Djaali,Psikologi Pendidikan (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 121.

[13]  Sardiman, A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Cet. III; Jakarta: Rajawali, 1990), h. 39.

[14]   M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), h. 102.

[15]   Sattu Alang, Kesehatan Mental dan Terapi Islam (Cet. IV; Makassar: CV Berkah Utami, 2011), h.38.

[16]  Thomas Gordon, Teacher Effectiveness Training, terj. Mudjito, Guru yang Efektif: Cara Mengatasi Kesulitan dalam Kelas (Jakarta: Rajawali Press, 1990),h. 3

[17] Mahfudh Shalahuddin, op. cit., h. 67

[18] Syaiful Bahri Djamarah, op. cit., h. 212-213

[19] Warkitri, dkk, Penilaian Pencapaian Hasil Belajar, (Jakarta: Universitas Terbuka,
1998), h. 8.

[20] Titk Kristyani, Self-Regulated Learning Konsep, Implikasi, Dan Tantangannya Bagi Siswa Di Indonesia (Yogyakarta: Sanata Dharma University Press, 2016), h. 1

[21] Ibid. h.1

[22] W.S.Winkel, Psikologi Pengajaran, (Yogyakarta : Media Abadi, 2004), h. 156

[24] Syarif FitriyantoPeran Metakognisi Untuk Mendukung Kemampuan Pemecahan Masalah Dalam Pembelajaran Fisika

[25] Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2010), h. 132

[26]  Husamah dan Yanur Setyaningrum, “Desain Pembelajaran Berbasis Pencapaian Kompetensi”, (Bandung: Prestasi Pustaka, 2011), h. 179

[27]  Titk Kristyani, Self-Regulated Learning, op. cit., h. 18

[28] Mahfudh Shalahuddin, Pengantar Psikologi op. cit., h. 51