DIAGNOSTIK KESULITAN BELAJAR DAN CARA MENGATASINYA,
KEMANDIRIAN BELAJAR (SELF REGULATED
LEARNING) DAN CARA PENGEMBANGANNYA.
MK: Pisikologi Pendidikan Islam
Oleh:
Nama : Saiful Rizal
NIM :200401012
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) MATARAM
TP. 2021
A.
Pendahuluan
Pendidikan
merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.[1]
Setiap peserta didik
pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk
mencapai kinerja akademik yang memuaskan. Namun dari kenyataan sehari hari
tampak jelas bahwa peserta didik memiliki
perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan
fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara peserta
didik yang satu dengan peserta didik lainnya. Perbedaan
tersebut mempengaruhi aktivitas belajar peserta didik.[2]
Masalah tersebut kecenderungan tidak
semua siswa dapat menyelesaikan dengan sendirinya. Sebagian orang mungkin tidak mengetahui cara
yang baik untuk memecahkan masalah sendiri. Sebagian yang lain tidak tahu
apa sebenarnya masalah yang dihadapi. Ada pula seseorang yang tampak tidak
mempunyai masalah, padahal ada masalah yang dihadapinya. Sehingga siswa
sulit meraih prestasi belajar di sekolah, padahal telah mengikuti pelajaran
dengan sungguhsungguh.
Guru
turut berperan membantu memecahkan masalah yang dihadapi siswa, peran guru
sangat diperlukan oleh peserta didik, maka diagnosis bertujuan untuk
mengetahui dimana letak kesulitan belajar yang di hadapi oleh siswa serta untuk
mencari pemecahannya. Pada kenyataannya, para siswa sering kali tidak mampu
mencapai tujuan belajarnya atau tidak memperoleh perubahan tingkah laku
sebagaimana yang diharapkan, demikian ini dapat menunjukkan bahwa siswa
mengalami kesulitan belajar dan merupakan hambatan dalam mencapai hasil
belajar.
Peran
sekolah dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan melalui proses belajar
mengajar di sekolah sangat diharapkan, memang untuk mewujudkannya tidaklah
mudah, banyak sekali hambatan-hambatan yang dihadapi di lapangan, seperti persoalan kurikulum yang tak kunjung
mendapatkan titik temu, dorongan belajar dari orang tua yang sangat kritis,
belum lagi kompetensi pedagogik guru yang masih dipertanyakan dan berbagai
masalah yang di hadapi oleh pendidik berkenaan dengan keadaan siswa itu
sendiri.
Kegagalan dalam belajar sebagaimana
contoh diatas berarti rugi waktu, tenaga, dan juga biaya. Dan tidak kalah
penting adalah dampak kegagalan belajar pada rasa percaya diri. Kerugian
tersebut bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan tetapi juga oleh keluarga dan lembaga
pendidikan. Oleh karena itu, upaya mencegah atau setidaknya meminimalkan dan juga
memecahkan kesulitan belajar melalui diagnosis kesulitan belajar peserta didik merupakan
kegiatan yang perlu dlaksanakan.
B.
Pembahasan
1.
Diagnostik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
diagnostik /di·ag·nos·tik/ adalah ilmu untuk
menentukan jenis penyakit berdasarkan gejala yang ada. Sedangkan,
diagnosis /di·ag·no·sis/ adalah penentuan jenis
penyakit dengan cara meneliti (memeriksa) gejala-gejalanya.[3]
Diagnosis
adalah penentuan jenis masalah atau kelainan dengan meneliti latar belakang penyebabnya atau dengan cara
menganalisis gejala-gejala yang tampak.
Kesulitan dapat diartikan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan,
sehingga memerlukan usaha lebih giat
lagi untuk dapat mengatasi. Belajar didefinisikan sebagai tingkah laku yang diubah melalui latihan atau pengalaman. Dengan
kata lain tingkah laku yang
mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai
aspek kepribadian, fisik maupun
psikis, seperti perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah, keterampilan, kecakapan, kebiasaan atau
sikap.[4] Kesulitan
belajar dapat diartikan
sebagai suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil
belajar.
Dengan melihat pengertian diatas maka dapat disimpulkan
bahwa diagnosis kesulitan belajar adalah semua kegiatan yang
dilakukan oleh guru untuk menemukan kesulitan
belajar, menetapkan jenis kesulitan, sifat kesulitan belajar, dan juga mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan
belajar serta cara menetapkan dan kemungkinan mengatasinya baik secara kuratif
(penyembuhan), maupun secara preventif (pencegahan) berdasarkan data
dan informasi yang ada.
Dalam buku psikologi belajar, Muhibbin Syah
mengatakan dalam proses belajar dikenal adanya bermacam-macam kegiatan yang
memiliki corak yang berbeda antara satu sama lainnya, baik dalam aspek materi
dan metodenya maupun dalam aspek tujuan dan perubahan tingkah laku yang di
harapkan.[5]
Keaneka ragaman jenis belajar ini muncul dalam dunia pendidikan sejalan dengan
kebutuhan kehidupan manusia yang juga bermacam-macam.
a.
Belajar Abstrak
Belajar
abstrak merupakan belajar mengunakan cara-cara berfikir abstrak. bertujuan
untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak nyata. Dalam mempelajari hal-hal yang abstrak diperlukan peranan akal yang kuat
di samping penguasaan atas prinsip, dan konsep, dan generalisasi. Termasuk
dalam jenis ini misalnya belajar matematika, kimia, kosmografi, astronomi,
dan juga sebagian materi bidang studi agama seperti tauhid.
b.
Belajar
Keterampilan
Belajar keterampilan
merupakan belajar dengan menggunakan gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat-urat saraf dan
otot-otot/ neuromuscular. bertujuan untuk memperoleh dan menguasi keterampilan
jasmani. Dalam
belajar jenis ini, latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Termasuk belajar dalam jenis ini misalnya
belajar olahraga, musik, menari, melukis, memperbaiki benda-benda elektronik,
dan juga sebahgian materi pelajaran agama, seperti ibadah shalat dan haji.
c.
Belajar Sosial
Belajar
sosial adalah belajar memahami masalah-masalah dan teknik pemecahannya.
bertujuan untuk menguasai pemahaman dan kecakapan dalam memecahkan
masalah-masalah sosial seperti masalah keluarga, masalah persahabatan, masalah kelompok, dan masalah-masalah lain yang
bersifat kemasyarakatan. Termasuk belajar dalam
jenis ini misalnya pelajaran agama dan kewarganegaraan
serta pelajaran lainnya yang menunjang pendidikan karakter yang akhir-akhir ini sedang digalakkan.[6]
d.
Belajar Pemecahan Masalah
Belajar pemecahan masalah pada
dasarnya merupakan mengguna metodemetode ilmiah atau berfikir secara
sistematis, logis, dan teliti. bertujuan untuk memperoleh kemampuan
dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara
rasional, lugas, dan tuntas. Untuk itu, kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep, prisip-prinsip, dan generalisasi serta tilikan
akal amat diperlukan.
e.
Belajar Rasional
Belajar rasional merupakan
belajar dengan menggunakan kemampuan berfikir secara
logis dan rasional. bertujuan untuk memperoleh aneka ragam kecakapan mengunakan prinsip-prinsip dan konsep-konsep. Jenis belajar
ini sangat erat
kaitannya dengan belajar pemecahan masalah dengan belajar rasional, siswa diharapkan memiliki kemampuan
memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan dan strategi akal sehat, logis, dan sistematis.
Tidak ada perbedaan
bidang studi yang digunakan sebagai sarana belajar rasional.
f.
Belajar Kebiasaan
Belajar kebiasaan merupakan
proses pembentukan kebiasaan baru atau perbaikan
kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain menggunakan perintah, keteladanan dan
pengalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuan agar
siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang lebih tepat dan positif dalam
arti selaras dengan
kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual). Selain itu, arti tepat dan positif diatas ialah
selaras dengan norma dan tata nilai moral yang berlaku, baik yang bersifat religus maupun tradisional
dan kultural.
Belajar kebiasaan akan lebih tepat dilaksanakan dalam konteks pendidikan keluarga sebagai mana yang
dimaksud oleh Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 10 (4) tahun 1989. Belajar kebiasaan
juga dapat diberlakukan untuk menopang pendidikan
karakter (seperti karakter amanah, disiplin, dan kerja keras) yang belakangan
ini sedang gencar dikampanyekan agar dilaksanakan di sekolah-sekolah.
g.
Belajar Apresiasi
Belajar
Apresiasi merupakan mempertimbangkan (judgment) arti penting atau nilai
suatu objek. bertujuan agar siswa memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah
rasa (affecttive skills) dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat
terhadap nilai objek tertentu misalnya apresiasi sastra, apresiasi musik, dan
sebagainya. Bidang-bidang studi yang dapat menungang
tercapainya tujuan belajar
apresiasi antara lain bahasa dan sastra, kerajinan tangan (prakarya), kesenian,
dan menggambar.
Selain bidang-bidang studi ini, bidang studi agama juga memungkinkan
untuk digunakan sebagai alat pengembangkan apresiasi siswa, misalnya
dalam hal seni baca tulis al-Qur’an.
h.
Belajar
Pengetahuan
Belajar Pengetahuan adalah
belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentu. Studi ini juga dapat
diartikan sebagai sebuah program belajar terencana untuk menguasai materi
pelajaran dengan melibatkan kegiatan investigasi dan eksperimen. Tujuan
belajar pengetahuan
ialah agar siswa memperoleh atau menambah informasi dan pemahaman
terhadap pengetahuan tertentu yang biasa lebih rumit dan memerlukan
kiat khusus dalam mempelajarinya, misalnya dengan mengguna alatalat
laboratorium dan penelitian lapangan.
2.
Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar adalah
terjemah dari istilah bahasa inggris learning
disability. Menurut terjemah tersebut sesungguhnya kurang tepat, karena learning artinya
belajar, disability artinya ketidakmampuan. Kesulitan belajar adalah:
suatu kondisi
yang mana anak didik tidak belajar sebagaimana mestinya karena ada gangguan
tertentu.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah, kesulitan belajar adalah suatu kondisi dimana peserta
didik tidak dapat belajar secara wajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan
atau gangguan dalam belajar.[7]
Jadi, siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar apabila yang bersangkutan
menunjukkan gejala (failure) tertentu dalam mencapai tujuan-tujuan
belajarnya.
Istilah
kesulitan belajar yang penulis maksudkan adalah suatu kondisi di mana anak
didik tidak dapat belajar secara maksimal disebabkan adanya hambatan, kendala
atau gangguan dalam belajarnya. Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu
dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif dan
psikomotor.[8]
Ketika kesulitan belajar terjadi tentu hambatan hadir dalam kegiatan belajar
mata pelajaran sehingga berakibat hasil belajarnya rendah.
Kegiatan
belajar sangat berpengaruh oleh beberapa faktor yang saling
berhubungan satu sama lainnya. Faktor tersebut dapat digolongkan kedalam dua
golongan, yaitu:
a.
Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang
timbul dari dalam diri peserta didik itu sendiri, baik fisik maupun mental. Seperti kesehatan, rasa aman,
kemampuan, minat dan lain sebagainya. Aspek-aspek tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap
hasil belajar
seseorang.[9]
Faktor internal meliputi:
1)
Faktor
Jasmaniah meliputi, faktor kesehatan dan cacat tubuh.
2)
Faktor
Psikologis:
a)
Intelegensi
Intelegensi berasal dari kata intelligere berarti mengorganisasikan,
menghubungkan, atau menyatukan satu dengan yang lain.[10]
Intelegensi adalah salah satu factor penting yang ikut menentukan berhasil tidaknya
pesrta didik.[11]
b)
Perhatian
Seorang guru harus menyajikan materi pemblajaran yang menarik
pehatian peserta didik. Jika pembelajarannya kurang menarik, maka timbullah rasa bosan,
malas, dan akhirnya prestasi belajar peserta didik menurun.
c)
Minat
Minat
diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan bahwa eserta didik lebih
menyukai sesuatu kemudian dimanifestasikan mlalui partisipasi dalam suatu
aktivitas.[12]
d)
Motivasi
Motivasi adalah keinginan atau dorongan untuk belajar.[13]
Motivasi dapat menentukan baik tidaknya dalam mencapai proses belajarnya.Proses
pembelajaran dapat berhasil jika taraf pertumbuhan pribadi telah memungkinkan
potensi-potensi jasmani atau rohaninya matang.[14]
b.
Faktor
Eksternal.
Faktor eksternal adalah faktor yang
datang dari luar diri seseorang yang berasal dari lingkungan mereka. Lingkungan meliputi kondisi-kondisi dunia
dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku dan perkembangan.[15]
Lingkungan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap belajar peserta didik di
sekolah. Faktor eksternal dibagi 3 yaitu faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat.
1)
Faktor
keluarga
Keluarga merupakan pusat
pendidikan yang utama dan pertama. Karena dilingkungan keluargalah anak pertama-tama memperoleh kesempatan untuk
belajar dan
menghayati pertemuan-pertemuan dengan sesame manusia. Hal yang berkaitan dengan
factor ini adalah cara orang tua mendidik, hubungan antara anggota keluarga,
suasana rumah, keadaan ekonomi dan latar belakang kebudayaan.
2)
Faktor
sekolah
Lingkungan
sekolah adalah lingkungsn kedua setelah lungkungan keluarga. Dalam lingkungan
sekolah terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi balajar peserta didik
diantaranya, pemilihan metode mengajar yang tepat, kurikulum, hubungan yang
harmonis antara guru dan peserta didik, alat pendidikan, kondisi gedung dan
lain sebagainya yang ikut mempengaruhi proses belajar
peserta didik.[16]
3)
Faktor Masyarakat
Jika
keluarga adalah komunitas masyarakat terkecil, maka masyarakat adalah komunitas
masyarakat dalam kehidupan sosial yang terbesar. Lingkunga
masyarakat member pengaruh terhadap siswa karena keberadaannya dalam
lingkungan ini. Faktor-faktornya antara lain, aktivitas dalam masyarakat, mass media,
teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat.[17]
3.
Cara Mengatasi Kesulitan Belajar
a.
Melakukan Identifikasi Kesulitan Belajar
Sebelum
menetapkan alternatif pemecahan masalah kesulitan belajar peserta didik, guru
sangat dianjurkan untuk terlebu dahulu melakukan identifikasi (upaya mengenali
dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan
belajar yang melanda peserta didik tersebut. Beberapa gejala sebagai indikator
adanya kesulitan belajar pada peserta didik:
1)
Menunjukkan prestasi yang rendah dibawah
rata-rata yang dicapai oleh kelompok kelas
2)
Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan
usaha yang dilakukan. Ia berusaha dengan
keras tetapi nilainya selalu rendah.
3)
Lambat dalam melakukan tugas-tugas belajar.
Ia selalu tertinggal dengan kawankawannya dalam segala hal, misalnya dalam
mengerjakan soal-soal atau dalam menyelesaikan tugas-tugas
4)
Menunjukkan sikap yang kurang wajar seperti
acuh tak acuh, berpura-pura dusta dan lain-lain.
5)
Menunjukkan
tingkah laku berlainan. Misalnya, mudah tersinggung, murung, pemarah,
bingung, cemberut, kurang gembira, dan selalu sedih.[18]
b. Cara
Mengatasi Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar siswa
harus dapat diketahui dan dapat diatasi sedini
mungkin, sehingga tujuan instruksional dapat tercapai dengan baik. Maka perlu dilakukan
diagnosis dari pelaksanaan diagnosis ini membantu siswa untuk memperoleh
hasil belajar yang optimal. Diagnosis kesulitan belajar perlu dilakukan karena berbagai hal diantaranya:
1)
Setiap siswa
hendaknya mendapat kesempatan dan pelayanan untuk berkembang secara
maksimal.
2)
Adanya perbedaan
kemampuan, kecerdasan, bakat, minat, dan latar belakang lingkungan masing-masing siswa.
3)
Sistem pengajaran di sekolah seharusnya memberi kesempatan pada siswa
untuk maju sesuai dengan kemampuannya.
4)
Untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi
oleh siswa, hendaknya guru lebih intensif dalam menangani siswa dengan menambah
pengetahuan, sikap yang terbuka dan mengasah keterampilan dalam
mengindentifikasi kesulitan belajar siswa.
Untuk melaksanakan kegiatan
diagnosis kesulitan belajar harus ditempuh beberapa tahapan kegiatan. Tahapan tersebut meliputi:
1)
Mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami
kesulitan belajar.
2)
Melokalisasikan kesulitan belajar.
3)
Menentukan faktor penyebab kesulitan belajar.
4)
Memperkirakan alternatif bantuan.
5)
Menetapkan kemungkinan cara mengatasinya.
6)
Tindak lanjut.[19]
Diagnosis kesulitan belajar
dilakukan dengan teknik tes dan nontes.
Teknik yang dapat digunakan guru untuk mendiagnosis kesulitan belajar antara lain: tes
prasyarat (prasyarat pengetahuan, prasyarat keterampilan), tes diagnostik, wawancara
dan pengamatan.
1)
Tes
prasyarat adalah tes yang digunakan untuk mengetahui apakah prasyarat yang
diperlukan untuk mencapai penguasaan kompetensi tertentu terpenuhi atau belum.
Prasyarat ini meliputi prasyarat pengetahuan dan prasyarat keterampilan.
2)
Tes diagnostik digunakan untuk mengetahui
kesulitan peserta didik dalam menguasai kompetensi tertentu.
3)
Wawancara dilakukan dengan mengadakan
interaksi lisan dengan peserta didik untuk menggali lebih dalam mengenai
kesulitan belajar yang dijumpai peserta didik.
4)
Pengamatan dilakukan dengan jalan melihat
secara cermat perilaku belajar siswa. dari pengamatan tersebut diharapkan dapat
diketahui jenis maupun penyebab kesulitan belajar siswa.
Tes diagnostik untuk
mengetahui kesulitan belajar yang dialami oleh siswa dapat
dilakukan secara kelompok maupun individual. Sasaran utama tes diagnostik
belajar adalah untuk menemukan kekeliruan-kekeliruan atau kesalahan konsep dan
kesalahan proses yang terjadi dalam diri siswa ketika mempelajari suatu topik
pelajaran tertentu. Identifikasi kesulitan siswa melalui tes diagnostik berupaya
memperoleh informasi tentang profil siswa dalam materi pokok, pengetahuan
dasar yang telah dimiliki siswa, pencapaian indikator, kesalahan yang biasa
dilakukan siswa, dan kemampuan dalam menyelesaikan soal yang menuntut
pemahaman kalimat.
Sedangkan teknik diagnostik nontes
(seperti wawancara, angket, dan pengamatan) dilakukan untuk mengidentifikasi kesulitan siswa yang
tidak dapat diidentifikasi melalui teknik tes. Informasi yang dapat diperoleh
dari teknik nontes misalnya, untuk mengetahui kebiasaan belajar siswa, kelemahan
fisik, kelemahan emosional, keadaan keluarga, cara guru mengajar, dan sebagainya.
4.
Kemandirian Belajar (Self- Regulated Learning) dan
Cara Pengembangannya
Self-
Regulated Learning
atau sering disingkat SRL merupakan istilah dalam
budaya barat yang dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana pelajar melakukan
strategi dengan meregulasi kognisi, metakognisi, dan motivasi. Dengan kata lain,
dibutuhkan kemandirian dan kesadaran akan diri yang kuat pada
siswa, dalam berbagai aspek.[20] Bagi siswa
yang hidup dalam budaya individualis, kesadaran akan diri sendiri tentunya akan
mudah dipahami.
Dalam budaya tersebut, orang terbiasa untuk menyatakan siapa
dirinya beserta harapan, keinginan, dan keberatannya terhadap orang lain
dan lingkungannya.
Dengan demikian, dalam
berpikir dan berperilaku tentunya sudah didasarkan pada kesadaran penuh akan siapa
dirinya.
Pemahaman tentang diri seringkali banyak dicampurkan dengan status dan
relasinya dengan orang-orang lain di sekitarnya. Ketidakjelasan dalam memahami
tentang diri pada siswa dalam budaya kolektif ini tentunya berdampak pada tidak
mudahnya siswa melakukan regulasi terhadap kognisi, metakognisi, dan
motivasinya sendiri. Dengan kata lain, ketidaktahuan tentang konteks siswa akan
berdampak pada SRL siswa. Berdasarkan hal tersebut, maka memahami konteks di
mana siswa berada merupakan hal penting yang harus dilakukan agar pendidikan
dapat berhasil mencapai tujuannya. [21]
Dalam SRL, pembelajar
memantau sendiri tujuan belajar dan motivasi mereka, mengelola sumber-sumber daya yang ada, dan menjadi
pengambil keputusan dalam seluruh proses belajar. SRL sangat menekankan pada otonomi dan
tanggung jawab pembelajar terhadap aktivitas belajarnya sendiri.
Dalam SRL, pelajar bertanggung jawab terhadap pendidikan dan proses
belajarnya sendiri, yang meliputi kesadaran dan evaluasi terhadap proses
berpikir, penggunaan strategi yang selektif dan tepat, serta motivasi diri secara
terus-menerus.
Istilah-istilah
yang dikaji dalam Self-
Regulated Learning
1.
Intelegensi
Istilah intelegensi
ini sudah menjadi bahasa umum bagi masyarakat, hanya saja sebagian masyarakat
menamakannya kecerdasan, kecerdikan, kepandaian, ketrampilan dan istilah
lainnya yang pada prinsipnya bermakna sama. Istilah intelegensi
dapat diartikan dengan dua cara, yaitu:
a.
Arti luas:
kemampuan untuk mencapai prestasi yang di dalamnya berpikir memegang peranan.
Prestasi itu dapat diberikan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti
pergaulan, sosial, tekhnis, perdagangan, pengaturan rumah tangga dan belajar di
sekolah.
b.
Arti sempit:
kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah yang di dalamnya berpikir memegang
peranan pokok. Intelegensi dalam arti ini,
kerap disebut “kemampuan intelektual” atau ”kemampuan akademik”.[22]
2.
Kognisi
Kognisi adalah istilah yang merujuk pada
proses mental dalam menyerap ilmu pengetahuan dan informasi serta pemahaman
terhadap ilmu tersebut. Kognisi melibatkan proses berpikir, mengenal,
mengingat, menghakimi, dan menyelesaikan masalah. Proses-proses dalam
kognisi di atas merupakan fungsi otak yang berada dalam
level tinggi. Proses di atas juga mencakup elemen penting lain seperti bahasa,
imajinasi, persepsi, dan perancangan suatu rencana dalam kehidupan
sehari-hari. Kognisi pun berperan penting dalam eksistensi manusia dalam
kehidupan. Misalnya, saja dalam mengingat suatu informasi, memahami pengalaman
yang dialami, serta dalam pembuatan keputusan.Kognisi dipelajari dalam cabang
psikologi yang disebut psikologi kognitif. Psikologi kognitif memiliki fokus
pada investigasi cara manusia berpikir dan proses yang terlibat dalam kognisi.[23]
Dengan demikian saat aktifitas berpikir terjadi otak akan menggunakan berbagai
fungsi seperti persepsi, perhatian, pengkodean ingatan (memory coding),
daya ingat (retention), ingatan (recall), pengambilan keputusan,
pemecahan masalah (problem solving), penalaran/pemikiran (reasoning),
perencanaan (planning), dan perlakuan/tindakan (executing actions).[24] Strategi kognisi meliputi
usaha mengingat kembali dan melatih materi terus-menerus, elaborasi, dan strategi mengorganisir
materi. Para
ahli psikologi kognitif dan sosial mengatakan bahwa SRL merupakan suatu proses
dan spirit yang dapat diubah melalui pelatihan. Sebagai suatu proses, SRL
meliputi pembuatan pencapaian tujuan, perencanaan sesuai tujuan yang telah
ditetapkan, penggunaan strategi, pemantauan terhadap pelaksanaan strategi,
serta evaluasi diri terhadap seluruh proses yang dijalani. Sebagai suatu spirit, SRL meliputi efikasi diri, harapan
terhadap hasil, penjelasan tentang keberhasilan atau kegagalan penyelesaian
suatu tugas, kepuasan diri, nilai suatu tugas bagi individu, serta minat terhadap tugas.
3.
Metakognisi
Istilah metakognisi (metacognition)
pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell pada tahun 1976. Metakognisi
terdiri dari imbuhan “meta” dan “kognisi”. Meta merupakan awalan untuk kognisi
yang artinya “sesudah” kognisi. John Flavell, mendefinisikan metakognisi
sebagai kesadaran peserta didik, pertimbangan, pengontrolan terhadap proses
serta strategi kognisi milik dirinya.[25] Menurut
Husamah dan Yanur metakognisi adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang
diketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia
mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Seseorang perlu menyadari kekurangan
dan kelebihan yang dimilikinya. Metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk
melihat pada diri sendiri, sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol
secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini, seseorang dimungkinkan memiliki
kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, sebab disetiap langkah yang ia
kerjakan senantiasa muncul pertanyaan : Apa yang saya kerjakan?, Mengapa
saya mengerjakan ini?, Hal apa yang membantu saya untuk menyelesaikan masalah
ini?[26] Strategi metakognisi
meliputi merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi. Strategi motivasional
meliputi menilai belajar sebagai kebutuhan diri atau sisi intrinsik, melakukan
penghargaan terhadap diri sendiri, dan tetap bertahan ketika menghadapi
kesulitan. Regulasi diri merupakan proses di mana siswa mengaktifkan dan
memelihara kognisi, perilaku, dan mempengaruhi pencapaian tujuan secara
sistematis.[27]
Perbedaan
Intelegensi, Kognisi dan metakognisi
a.
Intelegensi atau kecerdasan intelektual adalah salah satu
kemampuan mental, pikiran atau intelektual dan merupakan bagian dari proses
–proes kognitif pada tingkatan yang lebih tinggi. merupakan salah satu konsep
yang dipelajari dalam psikologi . Pada hakekatnya semua
orang sudah merasa memahami makna intelegensi. Intelegensi adalah kemampuan
untuk bertindak secara terarah , berpikir secara rasional, dan menghadapi
lingkungannya secara efektif. Ada anak yang mempunyai intelegensi tinggi,
sedang dan rendah. Perkembangan paling mencengangkan dalam bidang psikologi
kognitif bukanlah teori tertentu atau penemuan eksprimental, namun sebuah tren
umum
b.
Kognisi adalah
kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan termasuk kesadaran , perasaan dan sebagainya atau usaha menggali sesuatu
melalui pengalaman sendiri. Proses pengenalan , dan penafsiran lingkungan oleh
seseorang hasil pemerolehan pengetahuan.
c.
Metakognisi merupakan pengetahuan dan kesadaran seseorang
tentang kognisinya sendiri, kesadaran tentang apapun yang berhubungan dengan
diri mereka sendiri .seseorang memilki kesadaran metakognitif biasanya dapat
memulai pemikirannya dengan merancang, memantau dan menilai apa yang
dipelajari,jika tidak terpenuhi maka dapat berdampak pada pemikiran yang kurang
sistematis atau kurang runtut pada mahasiswa. serta mempunyai tiga macam fungsi
esensial yaiu merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi proses kognisi agar
dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4.
Pengaruh budaya dalam pengmbangan keterampilan
metakognisi
Apakah sebuah
budaya dapat mempengaruhi metakognisi seseoang? Dimana metakognisi adalah suatu
kata yang berkaitan dengan apa yang diketahui tentang dirinya sebagai individu
yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Seseorang
perlu menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Metakognisi adalah
suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri, sehingga apa yang dia
lakukan dapat terkontrol secara optimal. Tentu budaya dapat mempengaruhi
metakognisi seseorang karna yang mempengaruhi diri seseorang itu ada dua paktor
yaitu faktor internal dari diri orang tersebut dan faktor eksternal yaitu dari
luar orang tersebut termasuk budaya masarakant dan lainnya.[28]
C.
Daftar Rujukan
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi
Umum. Yogyakarta: CV Andi Offset,
2010.
Dalyono. Psikologi Pendidikan.
Cet. I . Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, 2010.
Djaali,Psikologi
Pendidikan Cet. II. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
https://www.sehatq.com/artikel/mengenal-kognisi-dan-tips-memelihara-fungsi-kognitif-otak (Akses 13 April 2021)
KBBI Online https://kbbi.kemdikbud.go.id
Husamah dan Yanur Setyaningrum, Desain
Pembelajaran Berbasis Pencapaian Kompetensi. Bandung: Prestasi Pustaka, 2011.
Mahfudh Shalahuddin, Pengantar
Psikologi Pendidikan. Surabaya: Bina Ilmu, 1990.
M. Ngalim Purwanto, Psikologi
Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1997
M. Ngalim Purwanto, Psikologi
Pendidika. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar,
Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Robbins, Stephen P, Perilaku
Organisasi Buku I. Jakarta: Salemba Empat, 2007.
Sardiman,
A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar
Cet. III. Jakarta: Rajawali, 1990.
Sattu Alang, Kesehatan Mental dan
Terapi Islam Cet. IV. Makassar: CV Berkah Utami, 2011.
Sumadi
Suryabrata, Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005.
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi
Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.
Titk Kristyani, Self-Regulated
Learning Konsep, Implikasi, Dan Tantangannya Bagi Siswa
Di Indonesia. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press, 2016.
Thomas Gordon, Teacher Effectiveness
Training, terj. Mudjito, Guru yang Efektif: Cara Mengatasi Kesulitan
dalam Kelas. Jakarta: Rajawali Press,
1990.
Warkitri, dkk, Penilaian Pencapaian
Hasil Belajar. Jakarta: Universitas
Terbuka,1998.
W.S.Winkel,
Psikologi Pengajaran.
Yogyakarta
: Media Abadi, 2004.
[1]
Robbins, Stephen P, Perilaku
Organisasi Buku I, (Jakarta: Salemba Empat, 2007), h. 69-
79
[2] Dalyono. Psikologi Pendidikan. Cet. I (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), h. 229
[3]
KBBI Online https://kbbi.kemdikbud.go.id
[4]
M. Ngalim Purwanto, Psikologi
Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h.
84
[5]
Muhibbin Syah, Psikologi
Belajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.125-126
[6] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar,…, h.125-126.
[7] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h. 199
[8]
Ibid, h.13
[9] Mahfudh Shalahuddin, Pengantar
Psikologi Pendidikan (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), h. 51
[10] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: CV Andi
Offset, 2010), h. 210
[11] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005), h.122
[12]
Djaali,Psikologi Pendidikan (Cet. II; Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), h. 121.
[13] Sardiman, A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Cet. III; Jakarta: Rajawali, 1990), h. 39.
[14] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), h. 102.
[15] Sattu Alang, Kesehatan Mental dan Terapi Islam (Cet. IV; Makassar: CV Berkah Utami, 2011), h.38.
[16] Thomas Gordon, Teacher Effectiveness Training, terj. Mudjito, Guru yang Efektif: Cara Mengatasi Kesulitan dalam Kelas (Jakarta: Rajawali Press, 1990),h. 3
[17]
Mahfudh
Shalahuddin, op. cit., h. 67
[18] Syaiful Bahri Djamarah, op. cit., h. 212-213
[19]
Warkitri, dkk, Penilaian
Pencapaian Hasil Belajar, (Jakarta: Universitas Terbuka,
1998),
h. 8.
[20]
Titk Kristyani, Self-Regulated
Learning Konsep, Implikasi, Dan Tantangannya Bagi Siswa Di Indonesia (Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press, 2016), h. 1
[21]
Ibid. h.1
[22] W.S.Winkel, Psikologi Pengajaran, (Yogyakarta : Media Abadi, 2004), h. 156
[23] https://www.sehatq.com/artikel/mengenal-kognisi-dan-tips-memelihara-fungsi-kognitif-otak (Akses 13 April 2021)
[24]
Syarif Fitriyanto “Peran Metakognisi Untuk Mendukung
Kemampuan Pemecahan Masalah Dalam Pembelajaran Fisika”
[25]
Desmita, Psikologi
Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2010), h. 132
[26] Husamah
dan Yanur Setyaningrum, “Desain Pembelajaran Berbasis Pencapaian Kompetensi”, (Bandung:
Prestasi Pustaka, 2011), h. 179
[27]
Titk Kristyani, Self-Regulated
Learning,
op. cit., h. 18
[28]
Mahfudh
Shalahuddin, Pengantar Psikologi op. cit., h. 51